Jadikan Kebijakan Trump Sebagai Momen Introspeksi dan Evaluasi Pijakan Ekonomi Nasional

JAKARTA- Ambil saja hikmahnya. Begitu kata orang bijak. Manuver Presiden Amerika Serikat Donald Trump memasang tarif impor 32 persen bagi Indonesia jangan dilihat melulu dari sisi negative karena positifnya juga pasti ada.

Ekonom dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko melihat kebijakan Trump memiliki landasan kuat lantaran negara ekonomi terbesar global itu menyerap 40 persen perdagangan dunia.

Jadikan Kebijakan Trump Sebagai Momen Introspeksi dan Evaluasi Pijakan Ekonomi Nasional
- (Dok. istimewa).

"Karenanya, kita perlu melihat dari sisi positif sekaligus menjadikan ini momentum untuk instropeksi dan evaluasi kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan. Ketimpangan itu tidak bisa dipertahankan," katanya, Selasa (15/4).

Menurut Aditya, upaya menyeimbangkan kembali (rebalancing) defisit AS tersebut harus menjadi pelajaran yang bagus buat Indonesia, yang selama ini terlena dengan sistem ekonomi yang merusak bangsa.

"Kalau tidak ada kebijakan tarif Trump, mungkin kita tidak akan bangun. Sistem kita yang selama ini sangat buruk bagi bangsa sendiri dan baru terkuak kebobrokannya. Misalnya dengan menyuburkan praktik monopoli melalui sistem kuota impor yang pada akhirnya melemahkan dan merugikan bangsa sendiri," kata Aditya.

Pemerintah ingin memperkuat industri dalam negeri dengan menginginkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada persentase tertentu, tetapi dalam praktiknya kalau disuap atau demi kepentingan kroni, maka TKDN bisa dihapus.

Sebagai contoh, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bendungan Cirata, Jawa Barat, Pemerintah terlihat tidak konsisten karena menghapus

TKDN-nya. Padahal, semua komponen yang digunakan semuanya barang dari Tiongkok. Pengecualian seperti itu merusak ketahanan nasional karena ternyata aturan yang sudah berlaku bisa dinegosiasikan secara case by case dan dilakukan secara diam-diam atau tidak transparan.

Begitu pula, ketika Indonesia mengekspor barang elektronik ke AS senilai 2 miliar dollar AS. Ternyata, barang tersebut milik Tiongkok yang butuh stempel Made In Indonesia, yang kalau diekspor ke AS akan mendapatkan keringanan bea masuk melalui fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).

GSP sendiri adalah fasilitas yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak tahun 1974. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada tahun 1980 dan sudah beberapa kali diperpanjang.

Lebih lanjut Aditya mengatakan Pemerintah Indonesia harus segera merespons perubahan peta perdagangan dunia itu dengan kebijakan yang lebih strategis. Presiden Prabowo harus berpikir keras, kalau Indonesia harus membuka pasar secara luas, terutama bagaimana nanti bisa bersaing dengan produk negara-negara lain yang produksinya jauh lebih murah karena adanya inovasi dari sentuhan teknologi yang jauh lebih maju.

"Kita tidak mampu bersaing, makanya pabrik sepatu Bata di Indonesia tutup dan akhirnya mendatangkan sepatu Bata yang diimpor dari Tiongkok. Kenapa? karena di Tiongkok mereka disubsidi. Pemerintah Tiongkok, mati-matian mendukung mereka. RI semestinya harus begitu. Tiongkok itu butuh 20 tahun menabung devisa ekspor mereka yang kini digunakan sebagai subsidi industrinya," papar Aditya.

 

Cetak Biru Industri Nasional

Diminta dalam kesempatan lain, Doktor Ekonomi lulusan Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Sabinus Beni mengatakan rebalancing menyadarkan semua pemangku kepentingan ekonomi nasional akan pentingnya mempunyai "Blue Print" atau Cetak Biru industri nasional yang menjadi pedoman dan arah pembangunan ekonomi ke depan.

Blue print itu kata Beni setidaknya harus memuat tiga hal penting antara lain, substitusi impor, industri prioritas dan membangun industri yang mempunyai permintaan secara nasional sangat besar.

"Kita harus menentukan industri apa yang harus kita perjuangkan. Misalnya Presiden minta mobil maung buatan Pindad digunakan untuk kantor pemerintahan dan pegawai negeri. Kalau menggunakan bahan dalam negeri, mereka diberi insentif pajak. Sebaliknya, kalau misalnya menggunakan garam dan gula impor, mereka tidak mendapat insentif pajak," kata Beni.

Pemerintah juga harus paham industri yang mempunyai permintaan pasar nasional besar yang harus dibantu negara seperti yang dilakukan Tiongkok. "Negara bisa berperan membantu membiayai pengadaan perangkat lunak (software) dan teknologi lainnya. Dengan bantuan fasilitas tersebut, maka diharapkan akan menekan biaya produksi, sehingga harga jualnya bisa turun separuh.

"Praktik seperti itu yang ditempuh Tiongkok selama 20 tahun untuk mendominasi dunia," kata Beni.

Pemerintah saat ini kata Beni juga harus memikirkan bagaimana mengantisipasi barang dumping yang sebelumnya dilempar Tiongkok ke AS, sekarang dialihkan ke Indonesia. Jelas, tindakan itu akan menyebabkan defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok semakin bertambah. Gudang-gudang di Tiongkok saat ini dipastikan akan kelebihan kapasitas (over capacity).

"Pemerintah harus menjawab bagaimana menghadapi situasi seperti itu. Pengenaan tarif oleh Trump dampaknya bukan dari AS, tapi dari negara yang over capacity. Itu tidak akan terjadi kalau industri di Tiongkok tidak disubsidi negara," katanya.

Dalam negosiasi tarif di Washington, kalau negosiator Indonesia hanya menawarkan pembelian produk migas dan LNG dalam kapasitas yang lebih besar, bisa dipastikan itu tidak akan membuat AS merasa cukup. Tuntutan AS pasti akan jauh lebih besar, bahkan mereka akan meminta Indonesia untuk membuka pintu yang lebih luas untuk produk AS.

Mereka pasti akan meminta Indonesia membeli daging, gandum dan produk lainnya yang selama ini diimpor dari negara lain. Begitu pula iPhone 16 akhirnya masuk ke Indonesia setelah selama ini mereka alot bernegosiasi dengan Pemerintah RI.

Dia pun khawatir Tim yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk bernegosiasi dengan Pemerintah AS tidak akan mencapai kesepakatan yang diinginkan dan berpotensi kembali ke Tanah Air dengan tangan hampa.

"Jika hanya mengandalkan pendekatan diplomatik tanpa kesiapan struktur ekonomi dalam negeri, maka hasilnya belum tentu maksimal. Kalau tidak ada visi ekonomi yang besar, mereka bisa pulang dengan tangan kosong," tegasnya.

Dia pun mengajak semua pihak untuk melihat kondisi ini sebagai titik balik lahirnya Indonesia yang baru, yang lebih tangguh secara ekonomi. Namun, semua itu hanya bisa terwujud jika pemerintah bersedia membentuk tim ekonomi khusus yang bekerja merancang cetak biru pembangunan nasional secara menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam kebijakan. Reformasi yang dibutuhkan harus struktural, fundamental, dan masif.

 

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • kebijakan tarif
  • Perang Dagang
  • Donald Trump

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE