Indonesia Jangan Sok Keras Hadapi Amerika Serikat
JAKARTA- Ekonom dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko menyarankan agar Indonesia tidak menghadapi Amerika Serikat dengan reaksi keras sebagaimana dipertontonkan Tiongkok.
"Jangan sekali-kali mengambil solusi melalui konfrontasi. Kita harus kerja sama, lantaran kita lebih butuh mereka daripada mereka butuh kita," ungkap Aditya yang diminta pendapatnya, Minggu (4/5) terkait kelanjutan perang dagang Amerika Serikat (AS) vs Tiongkok dan implikasinya terhadap Indonesia.
Aditya mengimbau agar Indonesia segera melakukan reformasi struktural dalam sistem ekonominya jika tak ingin terjebak dalam defisit besar yang berujung pada ketidakmampuan membayar utang.
Menurut Aditya, kebijakan tarif baru yang sedang dikaji oleh AS terhadap produk-produk Tiongkok dapat menciptakan pukulan serius terhadap stabilitas dalam negeri negeri Tirai Bambu itu, bahkan bisa mengancam posisi Partai Komunis Tiongkok.
"Kalau tarif diberlakukan, Tiongkok bisa kehilangan 10 juta lapangan kerja. Itu angka yang sangat besar, dan secara politik bisa mengguncang kekuatan pusat mereka," jelas Aditya.
AS, kata Aditya, sebenarnya hanya meminta perdagangan lebih adil dan fair, supaya neraca perdagangan mereka berimbang. Sebab, kalau mereka terus berdagang dengan Tiongkok, tapi terus merugi, sudah pasti tidak mau melanjutkan hubungan dagang lagi. Ketika AS memilih untuk tidak melanjutkan hubungan dagang dengan Tiongkok, maka otomatis neraca perdagangan mereka tidak defisit lagi, meskipun implikasi terberatnya pada hilangnya lapangan kerja.
Pemerintah kata Aditya harus benar-benar cermat membaca arah kebijakan luar negeri AS itu. Bukan hanya sekedar perang tarif dan perang dagang, tetapi implikasi dari kebijakan tersebut harus dipahami yang belum mencuat ke permukaaaan.
Kebijakan luar negeri AS, harus dilihat secara komprehensif, misalnya perjanjian mining dengan Ukraina. Meskipun AS habis-habisan mengeluarkan dana besar untuk membantu Ukraina, tapi bagi mereka hal itu tidak masalah yang penting bisa eksis di negara Eropa Timur itu karena punya mineral langka yaitu uranium dan juga ingin masuk di industri real estate.
Dengan adanya klausul AS membantu dengan persenjataan, maka perang akan terus berlanjut meskipun kondisi perekonomian dunia makin melemah. Kemampuan finansial Russia habis terkuras, ?Tiongkok pun demikian masuk krisis dan ekonominya melemah.
Pemerintah Tiongkok sah-sah saja menargetkan pertumbuhan ekonomi 5 persen lebih, tetapi realisasinya hanya 3,5 persen. Tiongkok tidak dalam posisi mendukung secara masif.
"Trump ini sekali menepuk sekaligus tujuh nyawa. Dia lemahkan posisi angkatan perang dan ancaman dari perang itu sendiri. Jadi, tanpa perang, dia sudah melemahkan lawan utamanya," papar Aditya.
Jika Pemerintah RI memahami semua maksud AS dibalik kebijakan rebalancing itu, maka jangan menganggap Indonesia ditekan dengan pengenaan tarif.
"Ini kesempatan kita merangkul AS untuk meningkatkan daya tawar kita ke AS. Seperti Ukraina dia kasih 50 persen tapi dia dapat modal dan persenjataan. Ukraina makin sulit untuk dikalahkan, bagaimana Russia mau melawan yang kuat tersebut," katanya.
Manfaatkan Peluang
Doktor Ekonomi lulusan Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Sabinus Beni mengatakan, pemerintah harus memanfaatkan peluang dan kesempatan saat ini.
Melalui jalur diplomasi yang sedang berjalan, pemerintah tinggal mengatakan setuju dengan permintaan AS, kemudian bisa menyampaikan juga permintaan agar mereka mau membangun di dalam negeri melalui investasi.
Hal itu sangat memungkinkan, karena dalam tiga bulan ini, AS sudah mengumpulkan 8 triliun dollar AS investasi.
"Pasti dia akan mau memberi kita sedikit, asal mereka jangan merasa ditekan. Gunakan momentum ini untuk melakukan reformasi struktural. Indonesia buka pintu, tapi AS harus memberi dan membawa sesuatu ke Indonesia," katanya.
Misalnya, Apple jangan semuanya investasi ke India, tetapi sebagian ada yang mereka investasikan di Indonesia, jangan semua dipindahkan dari Tiongkok ke India. Jika diamati, kenapa Apple pindah ke India, karena India Bukan ancaman bagi AS baik dari sisi ekonomi maupun militer. Bahkan, mereka bisa dirangkul sebagai aliansi.
"Kenapa bukan kita yang tarik? Seharusnya kita bisa mencoba. Mereka sudah memberi kesempatan ke Tiongkok, tetapi ternyata berbalik menjadi ancaman bagi AS. RI seharusnya bisa merangkul semuanya, karena sekarang sudah tidak ada lagi negara nonblok, Satu negara akan berkawan dengan semua negara yang mendukungnya," kata Beni.
Sebab itu, Pemerintah di dalam negeri harus melakukan reformasi struktural untuk industri pangan, terutama dengan meningkatkan daya saing dengan membangun produk substitusi impor. Selanjutnya, industri diperkuat terutama untuk produk-produk ekspor.
Semua itu lanjut Beni tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa membangun sumber daya manusia yang handal. Makanya, semua perusahaan aplikasi dan software yang masuk ke Indonesia rata-rata dari India. Karena Indonesia tidak punya.
Sebelumnya, RI pernah menggaungkan untuk membangun pusat teknologi sekelas Silicon Valley di AS. Tapi hak yang belum dipikirkan adalah untuk membangun Silicon Valley itu ada banyak kriteria dan persyaratannya.
Misalnya, udara harus bersih karena yang dibangun adalah industri bersih. Kalau serius, sebenarnya ada kawasan di Lampung yang udaranya masih bersih yaitu di pantai timur dan barat. Rata-rata selama 365 hari atau sepanjang tahun, udaranya masih mayoritas bersih, karena belum ada industri kotor di sana.
"Kalau mau maju, kita harus belajar melihat kondisi dunia. Kalau tidak mau melakukan gerakan masif dan reformasi struktural dan tidak menyelesaikan masalah dengan AS, maka kita makin terpuruk. Tanpa devisa, Pemerintah tidak akan bisa membayar utang. Kalau tidak cepat melakukan reformasi struktural, maka defisit APBN semakin besar dan pada akhirnya akan sampai pada titik tidak mampu lagi membayar utang atau default.
Indonesia Jangan Sok Keras Hadapi Amerika Serikat
0 Comments





- Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 Lebih Realistis
- Monitoring Ketat Pendanaan Rp16,6 Triliun ke Bulog
- Ayo Kamu Bisa! Papua Barat Daya Jangan Lagi Tergantung pada Beras
- Tak Ada Nama-nama Titipan dalam Struktur Kepengurusan BPI Danantara
- Waspadalah! Indonesia Bisa Kebanjiran Produk Impor Akibat Kebijakan Tarif AS
- Hore! Damai Segera Tiba, Gencatan Senjata Rusia-Ukraina di Depan Mata
- Paus Leo XIV Bersumpah Lestarikan Warisan Gereja Katolik
- Paus Leo XIV Siap Bantu Wujudkan Perdamaian Dunia
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!