Stop Ekspor Produk Negara Lain Melalui Indonesia
JAKARTA - Pakar ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan Indonesia jangan pernah memberi ruang pada ekspor siluman yang dapat berakibat sanksi keras dari Amerika Serikat.
"Kita bisa meniru Malaysia dan mengambil pelajaran agar sanksi tarif AS tidak terjadi lantaran kasus ekspor ilegal. Harus antisipasi, Jangan ada lagi ekspor siluman negara lain melalui negara kita," katanya, Selasa (20/5), menanggapi Thailand yang akan mengurangi kesenjangan perdagangannya dengan AS sebanyak 15 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Ia menjelaskan, untuk mengantisipasi kekhawatiran itu, Malaysia telah memperketat izin ekspor dengan meneliti setiap dokumen yang membantu mengidentifikasi asal barang guna mencegah ekspor ilegal dari negara-negara yang terkena tarif lebih tinggi seperti Tiongkok.
"Jangan sampai terjadi di sini, karena negara lain yang kena sanksi, ekonomi kita yang dirugikan. Sementara orang lain yang menikmati hasilnya," pungkas Dian.
Tidak Fair
Dihubungi terpisah menanggapi respon Thailand tersebut, pengamat kebijakan publik Fitra, Badiul Hadi mengatakan, penurunan surplus perdagangan Thailand terhadap AS sebagai dampak dari praktik trade deflection yaitu strategi dimana perusahaan mengalihkan jalur produksi atau ekspor melalui negara ketiga guna memperoleh tarif preferensial atau menghindari bea masuk yang lebih tinggi.
Hal itu yang dilakukan oleh Tiongkok, dimana barang maklon asal Tiongkok memanfaatkan fasilitas di Thailand untuk menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS terhadap barang barang buatan Tiongkok, terutama sejak perang dagang antar kedua negara.
AS menilai praktik trade deflection tersebut tidak fair, sehingga AS menekan Thailand agar mengurangi surplus yang tidak murni tersebut.
Indonesia perlu belajar dari kasus seperti itu dan mencermati dinamikanya agar tidak mengalami nasib serupa. "Hal ini penting karena saat ini banyak pabrik Tiongkok yang beroperasi di Indonesia memproduksi barang ekspor untuk pasar global, termasuk AS,"tegas Badiul.
Saat ini terang Badiul, Indonesia masih mendapatkan fasilitas preferensi tarif melalui skema generalized system of preferences (GSP) dari AS, yang memberi keringanan bea masuk untuk produk produk tertentu asal Indonesia. Selain itu, Indonesia juga baru saja melakukan negosiasi ulang perdagangan dengan AS.
Jika kemudian terbukti sebagian ekspor Indonesia adalah ekspor bodong yaitu produk yang sejatinya berasal dari modal, teknologi, dan kepemilikan asing, khususnya Tiongkok dan hanya memakai label "Made in Indonesia" maka Indonesia bisa kehilangan kepercayaan dagang AS, dan negosiasi perdagangan yang baru dilakukan beberapa saat lalu bisa dibatalkan sama AS," katanya.
Selain itu, Indonesia juga bisa mendapatkan sanksi dagang seperti dicabut dari negara penerima GSP dan ini akan bersampak pada kinerja ekspor.
Beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan audit ketat terhadap struktur kepemilikan dan asal muasal komponen produksi dari pabrik-pabrik ekspor di Indonesia, terutama yang menargetkan pasar AS.
Kemudian, meningkatkan transparansi asal barang (rules of origin) harus mengikuti standar internasional dan perjanjian dagang.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) perlu melakukan evaluasi model investasi asing langsung (FDI) agar tidak sekadar menjadi perantara relokasi industri dari negara yang sedang dikenai sanksi dagang.
"Momentum ini juga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong penguatan merek dan produk nasional, bukan hanya menjadi tempat produksi murah bagi investor asing," kata Badiul.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti menegaskan, intinya tidak ada makan siang gratis bagi AS.
"Kebijakan kenaikan tarif Trump sebenarnya memang memaksa negara lain baik Thailand maupun Indonesia untuk bisa memberikan ruang lebih besar bagi AS misalnya lewat ekspor barang dan jasa, kemudahan investasi perusahaan AS di Thailand ataupun Indonesia, begitu juga sebaliknya. Jadi ada take and give," tandas Esther.
Adil dan Seimbang
Sebagaimana diberitakan, Thailand akan mengurangi kesenjangan perdagangannya dengan Amerika Serikat AS sebanyak 15 miliar dollar AS setiap tahunnya dengan menerapkan inisiatif terbaru yaitu dengan mencegah penyalahgunaan aturan asal untuk ekspor.
Menteri Keuangan Thailand, Pichai Chunhavajira, pada Selasa (20/5) mengatakan Pemerintah berkomitmen menerjemahkan serangkaian kebijakan anti-penghindaran perdagangan ke dalam tindakan untuk memastikan Thailand menjalin kemitraan jangka panjang yang adil dan seimbang dalam perdagangan dan investasi dengan AS.
Pichai dalam konferensi Kamar Dagang Amerika di Bangkok seperti dikutip dari
Bangkok Post, pemotongan tersebut akan mewakili sekitar sepertiga dari surplus perdagangan Thailand yang tercatat sebesar 46 miliar dollar AS dengan Washington pada tahun lalu.
Thailand yang bergantung pada perdagangan telah mengajukan kerangka proposal kepada pemerintahan Trump untuk memulai negosiasi resmi guna menghindari tarif sebesar 36 persen atas barang-barangnya.
Penawaran Thailand, termasuk langkah-langkah untuk mengatasi pengalihan rute perdagangan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok, penurunan hambatan tarif dan non-tarif, serta peningkatan investasi, dapat menguntungkan kedua negara.
"Saya yakin bahwa kami memiliki serangkaian proposal praktis dan layak yang dapat secara efektif menghasilkan hasil yang saling menguntungkan dan memberikan kemenangan cepat yang nyata," kata Pichai, yang ditunjuk untuk memimpin delegasi Thailand dalam perundingan dengan pejabat AS.
Thailand juga mendesak kesepakatan dagang dengan AS untuk meminimalkan dampak terhadap ekonominya menyusul serangkaian pemangkasan proyeksi pertumbuhan dari bank sentral dan Bank Dunia. AS merupakan pasar ekspor terbesar Thailand tahun lalu, yang mencakup sekitar 18 persen dari total pengiriman negara tersebut.
Pada hari Senin, Thailand mengatakan akan menangguhkan promosi investasi untuk sektor-sektor tertentu yang membawa risiko kelebihan pasokan atau dampak negatif terhadap lingkungan dan akan memastikan pengawasan yang lebih ketat terhadap proposal investasi baru untuk memastikan proses produksi penting terjadi di negara tersebut.
Mereka juga telah menyederhanakan proses penerbitan sertifikat asal dan menambahkan lebih banyak produk industri ke dalam daftar pantauan.
"Dengan Thailand menjajaki lebih banyak investasi oleh perusahaan swasta di AS, akan ada lebih banyak kolaborasi di bidang energi, teknologi dan infrastruktur digital, pariwisata kesehatan dan industri kreatif," kata Pichai.
"Perusahaan-perusahaan Thailand dapat segera berinvestasi sedikitnya 2 miliar dollar AS di AS, kata Nalinee Taveesin, Presiden Perwakilan Dagang Thailand, minggu lalu setelah memimpin delegasi eksekutif sektor swasta ke AS.
Stop Ekspor Produk Negara Lain Melalui Indonesia
0 Comments





- Delegasi RI dan Perwakilan Dagang AS Alokasikan Waktu 60 untuk Berunding
- Target Pertumbuhan Ekonomi 8% Terlalu Ambisius
- Trump: Putin Tak ingin Hentikan Perang, Dia hanya Permainkan Saya
- HORE! AS dan Rusia Kembali Betemu di Istanbul demi Pulihkam Hubungan Bilateral
- Beijing Langgar Kesepakatan Jenewa, Tiongkok dan AS kembali Berunding di London
- Mencla-mencle, Trump Ancam Tetapkan Tarif Tinggi Secara Sepihak
- Indonesia Butuh Pemimpin yang Menolak Kompromi dengan Korupsi
- Kasihan! 7,8 Juta Angkatan Kerja Nganggur
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!