Trump: AS Tak Ingin Menyakiti Negara Tertentu Melalui Kebijakan Tarif
WASHINGTON- Presiden Amerika Serikat Donald Trump mempertimbangkan penangguhan pemberlakuan tarif timbal balik (resiprokal) selama 90 terhadap 75 negara mitra dagangnya, kecuali Tiongkok yang justru disanksi dengan pengenaan tarif 125 persen.
"Saya telah memikirkannya dan telah berurusan dengan Scott (Scott Bessent, Menteri Keuangan AS-red) serta Howard (Menteri Perdagangan, Howard Lutnick-red), dengan beberapa orang lain yang sangat profesional," kata Trump, Rabu (9/4).
"Itu ditulis sebagai sesuatu yang menurut saya sangat positif bagi dunia dan bagi kami, dan kami tidak ingin menyakiti negara-negara yang tidak perlu disakiti, dan mereka semua ingin bernegosiasi," Trump menambahkan.
Lewat platform Truth Social miliknya, Trump menyebut pengunduran kebijakan tarif itu karena negara-negara yang disanksi telah menghubungi mitra mereka di AS untuk menegosiasikan solusi bagi subjek yang sedang dibahas.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Tim Apriyanto mengatakan langkah tersebut sebagai upaya strategis AS untuk menghentikan kebergantungan pada produk Tiongkok dan mengoreksi defisit perdagangan yang selama ini mencapai 500 miliar dolar AS.
Kenaikan tarif secara signifikan terhadap Tiongkok dinilai sebagai sinyal keras dari AS kepada Tiongkok dan dunia bahwa ketimpangan perdagangan tidak lagi akan ditoleransi.
"Kalau sampai dagang dengan Tiongkok dihentikan total, yang justru untung adalah AS. Mereka bisa hemat ratusan miliar dolar dari defisit. Dan ini bukan lagi retorika. AS ingin menata ulang sistem perdagangan global," kata Tim dari Yogyakarta, Kamis (10/4).
Tiongkok saat ini sebutnya dalam kondisi tertekan. "Indeks harga barang turun 1 persen. Barang mereka banjir tapi tidak ada yang menyerap. Ini artinya krisis. Banyak pabrik tidak bisa bertahan, dan kalau tutup akan terjadi lonjakan pengangguran besar-besaran," katanya.
Menurut Tim, hal itu sebagai konsekuensi dari model ekonomi Tiongkok yang sangat bergantung pada ekspor. "Daya beli dalam negerinya tidak besar. Produksi mereka memang ditujukan untuk dunia. Tapi ketika dunia, terutama AS, mulai menutup diri, sistem itu jadi rapuh," papar Tim.
Dia juga menyinggung pernyataan dari pemerintah AS bahwa negara-negara yang tidak melawan justru akan dikenai tarif lebih rendah ke depan, hanya sekitar 10 persen. "Indonesia, dalam hal ini, tidak melawan. Bahkan respons kita bagus, misalnya dengan penghapusan kuota impor oleh Presiden Prabowo. Ini bisa menjadi sinyal positif bahwa Indonesia mau berubah dan mengikuti arah pasar yang lebih terbuka," tambah Tim.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa kebijakan Trump juga merupakan bentuk koreksi terhadap praktik dagang Tiongkok selama ini. "Selama puluhan tahun Tiongkok menetapkan tarif tinggi, bahkan memaksa perusahaan Jepang dan Eropa mendirikan pabrik di wilayah mereka. Tapi ketika AS bertindak tegas, mereka menyebut itu sebagai blackmail. Ini standar ganda," tegasnya.
Bahkan perusahaan seperti Apple yang selama ini memproduksi barangnya di Tiongkok, kini akan dikenai tarif tinggi jika tidak memindahkan produksinya ke AS. "AS tegas. Meski Apple perusahaan asal mereka sendiri, kalau tidak dirikan pabrik di dalam negeri, tetap akan dikenai tarif tinggi," kata Tim.
Hal itu karena dalam perang dagang, negara yang defisit justru tidak dirugikan. "Ketika perdagangan dihentikan, defisit pun hilang. Ini logika yang selama ini tidak dibaca secara utuh oleh banyak negara," katanya.
Di sisi lain, Tim mengapresiasi langkah Presiden Prabowo dalam menghapus kuota impor. Menurutnya, ini langkah penting untuk membebaskan Indonesia dari belenggu monopoli dan praktik rente yang sudah berlangsung puluhan tahun.
"Selama ini kuota diberikan ke kroni, bukan berdasarkan supply and demand. Yang mau mempertahankan kuota itu adalah mereka yang otaknya masih kroni dan tidak mau berubah. Kita ini seperti bunuh diri pelan-pelan selama 27 tahun," katanya.
Pembebasan kuota impor katanya baik, asal untuk mendukung penguatan bahan baku yang berguna bagi industri nasional.
Langgengkan Ketimpangan
Tim pada kesempatan itu juga menyesalkan bahwa sejak reformasi 1998, Indonesia justru terus memelihara sistem ekonomi yang melanggengkan ketimpangan. "Kita biarkan satu-dua orang kuasai kuota. Yang lain dikenai tarif, kroninya tidak. Itu bukan sistem yang sehat. Ini waktunya bertobat," tegas Tim.
Sebab itu, dia berharap agar momentum perubahan global saat ini tidak disia-siakan. "Dunia sedang berubah cepat. Kalau kita tidak ikut berubah, kita akan tertinggal. Tapi kalau kita berani reformasi struktural, justru ini bisa jadi kesempatan besar," pungkasnya.
Trump: AS Tak Ingin Menyakiti Negara Tertentu Melalui Kebijakan Tarif
0 Comments





- Miris! Alokasi APBN: Bayar Utang Rp350 T, Pengentasan Kemiskinan Cuma Rp75 T
- Negara Mitra Dagang Jangan Sampai Menimbulkan Ketergantungan
- Ayo, Lebih Semangat Tingkatkan Produktivitas Nasional
- Ayo Dukung Program Sekolah Rakyat Kejar Ketertinggalan
- Menggaet Investor Melalui Identifikasi Potensi Unggulan di Daerah
- Monitoring Ketat Pendanaan Rp16,6 Triliun ke Bulog
- Zelensky Siap Tandatangani Kesepakatan Terkait Cadangan Mineral Strategis
- 7 Prinsip Koperasi Perdesaan yang Wajib Dipenuhi
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!