Jangan Kasih Peluang, Sikat Habis Mafia Pangan
JAKARTA- Menteri Pertanian, Amran Sulaiman mengatakan mafia pangan diduga berupaya memanipulasi data pasokan beras dengan mempermainkan situasi di tengah proses pemenuhan ketahanan dan swasembada pangan di Indonesia.
"Itu sementara diproses oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Kami minta jangan mempermainkan nasib petani dan konsumen," kata Mentan di Makassar pekan lalu.
Dari informasi internal, ditemukan dugaan oknum-oknum tertentu yang berupaya mempengaruhi opini publik dengan mencoba memanipulasi data pasokan beras minim, padahal kenyataannya sangat melimpah.
"Sekarang beras kita banyak, tetapi ada yang coba-coba memainkan data, sehingga kelihatan beras kurang, ternyata lebih," kata Mentan.
Stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog mencapai 4 juta ton lebih, tertinggi yang pernah dicapai Indonesia dalam waktu 57 tahun terakhir.
Kementan menengarai oknum mafia pangan ingin mengacaukan program ketahanan dan swasembada pangan yang telah dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Upaya mafia pangan itu dimaksudkan agar Pemerintah kembali membuka keran impor dan mereka bisa mendapat keuntungan dengan mengacaukan harga di tingkat petani.
Opini Menyesatkan
Menanggapi hal itu, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa mengatakan Satgas Pangan harus menindak tegas indikasi mafia pangan yang merugikan petani dan konsumen.
"Perlu diperkuat data center terkait pasokan dan kebutuhan pangan supaya tidak terjadi manipulasi dan opini yang menyesatkan," tegas Awan.
Selain itu, perlu mendorong koneksitas antara petani dan konsumen, diantaranya melalui koperasi multi pihak di sektor pertanian.
Diminta terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto mengatakan skenario manipulasi stok beras sangat mungkin terjadi, terutama mengingat struktur penguasaan pasar beras di Indonesia.
"Stok beras yang dikuasai oleh pedagang relatif lebih besar dibandingkan yang dikuasai oleh Bulog. Jadi kemungkinan pertama, pasokan di pasar bisa saja dimainkan oleh pedagang besar," kata Dwijono.
Selain potensi permainan pasokan oleh pedagang, persoalan lain yang juga krusial adalah soal kualitas gabah dalam pengadaan pemerintah. Menurutnya, meski pemerintah menyatakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mencapai lebih dari 4 juta ton, tertinggi dalam 57 tahun terakhir, sebagian besar dari stok tersebut belum dalam kondisi siap edar.
"Kemungkinan kedua adalah karena pengadaan stok pemerintah yang berasal dari gabah multi kualitas. Secara kuantitas memang mencapai 4 juta ton, tetapi sebagian besar bukan kualitas kering giling. Untuk mencapai kualitas tersebut, butuh waktu pengeringan. Ini menyebabkan keterlambatan pasokan beras ke pasar dan akhirnya harga mulai naik," paparnya.
Bulog tambahnya sebenarnya memiliki fasilitas silo untuk pengeringan gabah, namun kapasitasnya terbatas dan hanya tersedia di beberapa daerah sentra produksi. Ketidakseimbangan itu berpotensi menimbulkan bottleneck dalam penyaluran beras.
"Secara jumlah memang ideal, terutama dari sisi pengadaan dalam negeri, bukan impor. Tapi karena kualitasnya beragam dan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggung kerugian Bulog cukup besar, ini bukan sekadar persoalan kuantitas," tegasnya.
Ke depan, Dwijono menilai pemerintah perlu memperbaiki sistem penyerapan gabah secara menyeluruh, mulai dari standarisasi kualitas hingga distribusi fasilitas pengeringan yang merata. Ia menekankan pentingnya sinergi antara petani, Bulog, dan lembaga pendukung lainnya agar proses penyerapan gabah dilakukan secara efisien dan berorientasi pada mutu.
"Jika ingin mencapai swasembada yang berkelanjutan, maka pengadaan dalam negeri harus dibarengi dengan sistem logistik yang mampu menjaga kualitas sejak panen hingga distribusi. Tanpa itu, kita hanya menumpuk angka tapi tidak memperkuat ketahanan secara nyata," tutupnya.
Cenderung Stagnan
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan yang lebih penting sebenarnya adalah produksi beras yang melimpah pada 2025 ini harus bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Dilihat dari struktur margin harga beras, petani hanya memperoleh 43 persen dari nilai tambah beras.
"Sekitar 50 persen nilai tambah beras justru diserap pelaku usaha distribusi dan ritel," paparnya.
Sementara itu, pendapatan petani cenderung stagnan. Sebaliknya, biaya produksi dan kebutuhan hidup petani meningkat. Rerata upah buruh di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada Februari 2025 sebesar 2,25 juta rupiah per bulan. Naik tipis dibandingkan rerata upah di sektor tersebut pada Februari 2024 yang sebesar 2,23 juta rupiah per bulan.
Oleh karena itu, meski produksi beras melimpah tetapi belum bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh sebab itu, ke depan distribusi beras harus diperhatikan karena petani biasanya mendapat economic rent paling kecil dalam rantai pasok beras.
Jangan Kasih Peluang, Sikat Habis Mafia Pangan
0 Comments





- PM Australia: Saya Pastikan Kami Dukung Indonesia Masuk OECD dan CPTPP
- Ayo, Lebih Semangat Tingkatkan Produktivitas Nasional
- Wow, Subsidi dan Kompensasi Gerogoti ABPN Ratusan Triliun Rupiah
- Mencla-mencle, Trump Ancam Tetapkan Tarif Tinggi Secara Sepihak
- Paus Leo XIV Siap Bantu Wujudkan Perdamaian Dunia
- Rusak Lingkungan, Cabut Semua Izin Tambang di Global Geopark Raja Ampat
- Indonesia Dorong ADB Mobilisasi Investasi Sektor Swasta
- Trump Berniat Sudahi Negosiasi Sulit dengan Puluhan Negara
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!