Pembantu Presiden Harus Realistis Targetkan Swasembada Pangan

Guru Besar Ekonomi Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto menilai, target swasembada pangan dalam waktu tiga tahun seperti yang disampaikan Menteri Pertanian tidak realistis. Hal ini menyebabkan masyarakat mendapatkan informasi yang kurang tepat.

Dwijono menambahkan, upaya menuju swasembada pangan memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun dengan berbagai tantangan yang kompleks, terutama terkait luas lahan, cuaca, dan kebijakan yang mendukung.

Pembantu Presiden Harus Realistis Targetkan Swasembada Pangan
- (Dok. Antara).

"Swasembada beras saja membutuhkan tambahan areal sekitar 600 ribu hingga 1 juta hektar dengan asumsi kondisi iklim dan cuaca normal. Jika tidak normal, kebutuhan lahan bisa lebih luas lagi," kata Dwijono kepada Koran Jakarta, Jumat (24/1).

Ia pun meminta para pembantu Presiden Prabowo terutama menteri yang berkaitan dengan pangan mulai dari Menko Pangan, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) harus jujur menyampaikan informasi kepada Presiden dan publik. Ini bertujuan agar permasalahan terkait pangan bisa dicarikan solusi dengan cepat dan tepat.

Alokasi lahan untuk padi jelasnya secara otomatis akan mengurangi ruang untuk tanaman lain seperti jagung dan kedelai, kecuali jika dilakukan pembukaan hutan. Namun, ia mengingatkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan kegagalan food estate, sehingga membuka hutan belum tentu menghasilkan produktivitas yang optimal.

Lebih lanjut, kata dia, peningkatan kebutuhan impor gandum, termasuk untuk pakan ternak. Menurut Dwijono, pengalihan dari jagung ke gandum untuk pakan ternak bukanlah keberhasilan, melainkan pengalihan masalah.

"Ini bukan swasembada, tapi pengalihan masalah. Jagung masih bisa ditanam di Indonesia, sementara gandum tidak," tegasnya.

Dwijono menyoroti masalah besar dalam ketergantungan Indonesia pada impor gandum dan garam. Menurutnya, garam tambang impor yang lebih murah membuat petani garam lokal kesulitan bersaing.

"Garam tambang jauh lebih murah dibanding garam rakyat. Bagaimana kita mau mandiri jika tidak ada perlindungan terhadap petani lokal?" katanya.

Ia juga menekankan perlunya teknologi yang lebih baik dalam pengolahan garam, termasuk pengelolaan bahan baku seperti air infus garam.

"Kalau hulu tidak diperbaiki, bagaimana bisa memperbaiki hilirnya? Ini bukan persaingan yang adil," tambahnya.

Dwijono juga menegaskan pentingnya memperbaiki sistem irigasi tersier dan kuarter yang selama ini kurang diperhatikan. Menurutnya, pembangunan waduk saja tidak cukup tanpa jaringan irigasi yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh petani.

"Sejak reformasi, irigasi tersier dan kuarter ditelantarkan. Kalau hanya bicara waduk tanpa memperhatikan irigasi hingga ke petani, percuma. Selain itu, konsultasi dengan ahli air dari perguruan tinggi juga tidak pernah dilakukan," ujarnya.

Ia juga mengkritik distribusi pupuk bersubsidi yang dianggap tidak efektif.

"Masalah ini harus dilaporkan secara lengkap dan jernih. Jika tidak, ketika target swasembada tidak tercapai, yang rugi adalah bangsa ini karena telah kehilangan waktu," pungkasnya.

Sementara itu, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa menegaskan, kalau tidak ada keberanian, kemauan politik, dan terobosan terobosan maka swasembada pangan tidak akan pernah terealisasi.

"Tanpa adanya terobosan tata kelola pangan kita akan tetap dikendalikan para oligarki yang mengeruk keuntungan besar dari impor pangan. Untuk itu, kementerian terkait harus bekerja lebih ekstra mengeksekusi arahan presiden. Harus selaras dan konsisten dengan kebijakan dan arahan Presiden," tegas Awan.

Dia juga menyoroti masalah masih tingginya impor gandum yang sebenarnya masih bisa didiversfikasi ke sorgum untuk pemenuhan bahan baku dalam negeri. Menurutnya, pemerintah harus serius mengembangkan pangan lokal.

Secara terpisah, pengamat Pertanian, Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa (Unwar), Denpasar, Bali I Nengah Muliarta menegaskan kebijakan untuk tidak mengimpor jagung tetapi tetap mengimpor gandum untuk pakan ternak menunjukkan adanya ketidakselarasan dalam strategi pangan.

"Ini bisa dilihat sebagai pengalihan masalah, di mana solusi jangka pendek diambil tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kebijakan yang lebih terintegrasi diperlukan untuk menangani semua aspek produksi pangan,"tegas Muliarta.

Guna mencapai swasembada pangan memerlukan pendekatan berkelanjutan yang melibatkan petani, teknologi, riset, dan dukungan kebijakan. Investasi di sektor pertanian, pelatihan untuk petani, dan inovasi teknologi harus menjadi fokus utama. Pencapaian swasembada pangan tidak dapat dilakukan oleh Kementerian
Pertanian saja.

"Dibutuhkan kolaborasi antara berbagai kementerian, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertanian berkelanjutan," katanya.

Swasembada pangan juga tidak harus terbatas pada produksi darat saja. Dengan memanfaatkan potensi laut yang melimpah, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang lebih baik dan berkelanjutan.

R
Rivaldi Dani Rahmadi
Penulis
  • Tag:
  • Viral
  • Tidur Siang
  • tidur

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE