Jangan Tutup Mata Atas Faktor Internal Pelemah Nilai Tukar Rupiah
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata mengingatkan bahwa melorotnya nilai tukar rupiah merupakan sinyal penting yang tak bias diabaikan. "Tekanan global memang kencang namun faktor domestik juga menjadi penyebab lain pelemahan rupiah," katanya.
Aloysius diminta pendapatnya terkait merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam sejak awal 2025. Pada perdagangan Senin (24/3), rupiah sempat tersungkur ke level 16.641 rupiah per dolar AS, mendekati titik terendah yang pernah tercatat dalam sejarah, yakni 16.650 rupiah per dolar AS pada 17 Juni 1998, saat krisis moneter melanda Indonesia.
"Ketidakpastian global jelas di luar kendali Indonesia. Namun bila kecepatan melemahnya rupiah makin tinggi, kita tidak bisa menutup mata terhadap problem internal yang belum terselesaikan, atau bahkan justru memunculkan persoalan baru," kata Aloysius dari Yogyakarta, Selasa (25/3).
Menurut dia, sejumlah faktor eksternal yang memicu seperti kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump, arah suku bunga The Fed, hingga konflik geopolitik yang berkepanjangan diakui menekan mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun demikian, depresiasi rupiah hingga mendekati rekor 1998 menunjukkan bahwa fundamental ekonomi nasional sedang diuji secara serius.
"Pernyataan bahwa rupiah masih dalam batas fundamental, itu akan benar-benar diuji di hari-hari mendatang," kata Aloysius.
Meskipun instrumen stabilisasi moneter Indonesia saat ini jauh lebih prima dibandingkan dengan masa krisis 1998, efektivitasnya patut dipertanyakan bila nilai tukar rupiah terus melemah. Terlebih, dalam beberapa bulan terakhir telah muncul keraguan publik terhadap independensi bank sentral.
"Pertanyaannya bukan hanya soal kemampuan instrumen stabilisasi, tapi juga apakah kita sedang kesulitan menggunakan instrumen yang ada secara tepat, mungkin karena tekanan kepentingan atau faktor lain," tegasnya.
Perbaiki Komunikasi Publik
Dengan kondisi saat ini, Aloysius menilai langkah stabilisasi harus disertai dengan perbaikan komunikasi terutama oleh Bank Indonesia (BI) agar menguatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan moneter.
"Dalam situasi seperti ini, kepercayaan publik bisa lebih menentukan daripada cadangan devisa," pungkasnya.
Diminta pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira mengatakan, kalau rupiah selalu mengalami pelemahan, maka efeknya belanja Pemerintah yang berkaitan dengan preferensi kurs dollar.
Misalnya, belanja subsidi energi, belanja subsidi listrik, BBM kemudian LPG 3 kg. Semua itu pasti akan mengalami kenaikan dan memang sudah terkonfirmasi belanja subsidi energi pada 100 hari Prabowo-Gibran angkanya jauh lebih tinggi dari pada pemerintah sebelumnya (Jokowi).
"Artinya, beban ini akan menekan APBN di tengah situasi APBN sedang mengalami penurunan penerimaan perpajakan. Jadi, efeknya nanti ke defisit anggaran," kata Bhima.
Kedua, tentu masyarakat akan terdampak dari pelemahan nilai tukar rupiah ini, karena biaya impor bahan baku akan naik, impor barang jadi juga akan naik dan produsen ataupun pedagang akan meneruskan ke konsumen berupa harga yang lebih tinggi, sehingga ini akan menciptakan imported inflation dan akan membuat daya beli masyarakat semakin menurun.
Pada tahap berikutnya, produsen ketika biaya semakin melemah maka mereka akan dihadapkan pada biaya bahan baku semakin tinggi sementara margin harus dipertahankan agar operasional perusahaan bisa terus berjalan dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja.
"Ini situasi yang akan membuat ruang fiskal semakin sempit. Saran saya sih kalau asumsinya sudah terlalu jauh perlu dilakukan APBN Perubahan dan prosesnya segera dilakukan di DPR," kata Bhima.
Sementara itu, peneliti ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, Bank Indonesia telat mengantisipasi pergerakan rupiah yang sangat masif naik beberapa bulan terakhir. Padahal salah satu tugas BI adalah menjaga stabilitas rupiah dengan kebijakan moneternya.
"BI lambat menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Bahkan sejak enam bulan, pelemahannya hampir 10 persen,"tegas Huda.
Nilai tukar rupiah yang nyaris menyentuh titik terendah tidak lepas dari kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tidak kuat.
"Klaim Pemerintah bahwa fondasi ekonomi Indonesia kuat ternyata lips service belaka, kenyataannya, ekonomi kita rapuh,"tandas Huda.
0 Comments





- Presiden Ukraina Zelensky Serukan Perang Segera Dihentikan
- Ayo, Lebih Semangat Tingkatkan Produktivitas Nasional
- Nah Lho, Amerika Serikat Ultimatum ByteDance Segera Lepas TikTok
- Wow! Koperasi Desa Merah Putih Siap Tampung Hasil Panen Petani
- Hidup Petani! Tanpa Pangan Tidak Ada NKRI
- Waspadalah! Ekonomi RI Bisa Menuju Kanker Stadium Empat
- Hore! BI Tambah Likuiditas Rp80 Triliun
- Indonesia Memilih Jalur Diplomasi Hadapi Kebijakan Tarif Trump
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!