Kiblat Militer dan Perdagangan Jangan Bertolak Belakang

JAKARTA- Doktor Ekonomi Jebolan Universitas Tanjung Pura Pontianak, Sabianus Beni menilai pesawat tempur bukan hanya sekedar komoditas perdagangan, tetapi sudah menunjukkan keberpihakan.

"Bagi Amerika Serikat, jika militernya berkiblat ke AS, maka perdagangannya juga berkiblat ke AS. Tidak bisa terpisahkan. Jangan seperti Singapura perdagangan ikut mana, militer ikut mana," kata dia, Minggu malam (20/4).

Kiblat Militer dan Perdagangan Jangan Bertolak Belakang
- (Dok. istimewa).

Apalagi pesawat tempur jenis F-15EX, katanya, punya kehebatan yang dirancang sedemikian rupa yaitu tidak bisa menembak sesama F-15EX. "Pesawat yang sudah dilengkapi dengan teknologi Artificial Intelligence/AI (kecerdasan buatan) bisa berpikir sendiri mana musuh dan mana lawan."

Pernyataan Sabianus tersebut merupakan tanggan terhadap wacana Pemerintah Indonesia yang tengah mempertimbangkan membeli persenjataan dan peralatan militer senilai miliaran dollar dari Amerika Serikat (AS), termasuk jet tempur dan rudal untuk membantu meredakan ketegangan perdagangan serta menghindarkan RI dari rencana tarif Presiden Donald Trump sebesar 32 persen.

Pembelian pesawat dan senjata dari AS itu dinilai penting, karena dengan membeli pesawat dan peralatan militer dari AS sudah menunjukkan bahwa kiblat Indonesia ke AS, berseberangan dengan Tiongkok.

Di sisi lain, Presiden AS, Donald Trump sudah menyampaikan telah menyiapkan

anggaran pertahanan 1 triliun dollar AS karena dia sadar bahwa ancaman dari Russia dan Tiongkok itu bukan hal sepele. Trump benar-benar all out menghadapi ancaman tersebut.

Oleh sebab itu, kebijakan Trump soal rebalancing neraca perdagangan AS dengan negara-negara mitra dagangnya, khususnya bagi Indonesia menjadi kesempatan untuk melakukan reformasi struktural.

"Pemerintah harus membersihkan sistem yang merusak, yang melindungi kroni, bukan melindungi rakyat dan petani serta untuk melindungi kepentingan nasional," kata Beni.

Daya Tawar Lemah

Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan dengan menawarkan untuk membuka keran impor yang lebih luas bagi produk-produk AS serta merelaksasi aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) menjadi bukti lemahnya posisi daya tawar RI dalam hubungan dagang dengan AS.

"Lemahnya daya tawar Indonesia menunjukkan diversifikasi tujuan ekspor belum terjadi secara signifikan, sehingga turunnya ekspor ke AS akan menurunkan nilai ekspor secara signifikan," jelas Suhartoko.

Pekerjaan rumah yang besar ke depan, khususnya bagi Kementerian perdagangan (Kemendag) ialah tujuan ekspor jangan bergantung kepada satu negara saja. Selain itu ekspor perlu dilakukan secara berkelanjutan dalam kuantitas dan harganya.

"Dengan momentum hilirisasi ini, seharusnya ekspor manufaktur akan meningkat," katanya.

Dia pun menekankan Pemerintah perlu melakukan reformasi struktural, agar komoditas ekspor Indonesia tidak terus bergantung pada barang primer, tetapi mengekspor komoditas yang mempunyai nilai tambah.

"Ekspor harus mempunyai keunggulan dan menciptakan kebergantungan negara pengimpor," tegasnya.

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • sistem pertahanan
  • kiblat militer
  • Perdagangan Global

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE