Sempat Menggila, Kini Harga Minyak Brent Jatuh 27% dan Batu Bara Anjlok 69%

JAKARTA- Dalam laporan Commodity Markets Outlook edisi April 2025, Bank Dunia memproyeksikan harga komoditas bakal turun 12 persen pada 2025 dan menyusut lagi 5 persen pada 2026. Proyeksi ini tak hanya sekadar kemunduran harga, juga tentang perlambatan ekonomi global, tekanan geopolitik, dan transisi struktural dalam konsumsi energi dan pangan.

Setelah harga menggila dalam enam tahun terakhir, puncaknya terjadi pada pada 2022 lalu. Bila dibandingkan 2022, rata-rata harga minyak brent sudah jatuh 27 persen, batu bara merosot 69 persen, minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil/ CPO turun 12,3 persen dan gas alam Eropa jeblok 67,4 persen.

Sempat Menggila, Kini Harga Minyak Brent Jatuh 27% dan Batu Bara Anjlok 69%
- (Dok. istimewa).

Laporan itu memprediksi harga energi yang akan paling terpukul. Raja komoditas yaitu minyak Brent diperkirakan hanya akan berada di level 64 dollar AS per barel pada 2025 atau turun drastis dari estimasi sebelumnya 81 dollar AS per barel. Pada 2026, bahkan akan lebih turun ke posisi 60 dollar AS per barel.

Pasokan yang melimpah di tengah lemahnya permintaan terjadi karena agresifnya adopsi kendaraan listrik di Tiongkok yang merupakan pasar otomotif terbesar dunia. Minyak mentah WTI juga tak mampu melawan arus, terkoreksi tajam ke 63,1 dollar AS per barel pada April 2025, turun hampir 7 persen dalam sebulan terakhir.

Batu bara pun tak luput dari tekanan. Harga batu bara Australia kini berada di kisaran 98,6 dollar AS per metrik ton pada April 2025, turun lebih dari 5 persen dari bulan sebelumnya. Batu bara Afrika Selatan menyusul dengan penurunan 2,4 persen menjadi 95,6 dollar AS per metrik ton. Tren tersebut menandakan mulai melambatnya pertumbuhan konsumsi energi fosil, bahkan di negara berkembang, karena peningkatan investasi pada sumber energi terbarukan dan efisiensi energi.

Volatilitas yang tinggi dan tren penurunan bisa mengguncang stabilitas fiskal negara-negara berkembang, khususnya yang menggantungkan pendapatan pada ekspor komoditas.

Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill mengingatkan bahwa kini dunia menghadapi volatilitas harga tertinggi dalam 50 tahun terakhir. Kombinasi harga rendah dan gejolak pasar itu kata Gill bisa menjadi bencana senyap bagi banyak negara berkembang.

Gill pun menyerukan reformasi mendasar liberalisasi perdagangan, pengetatan fiskal, dan penciptaan iklim investasi yang ramah swasta sebagai kunci bertahan di tengah badai harga.

Sementara itu, di sektor pangan, tekanan tampak lebih moderat namun tetap menyimpan kekhawatiran. Harga makanan global diprediksi turun 7 persen pada 2025 dan 1 persen pada 2026. Namun turunnya harga tidak serta merta menyelesaikan persoalan ketahanan pangan.

Konflik bersenjata yang memburuk, pengurangan bantuan kemanusiaan, dan gangguan distribusi membuat banyak negara tetap berada di ambang krisis.

Reorientasi Fiskal

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat yang diminta tanggapannya menekankan pentingnya reorientasi strategi fiskal nasional dalam kondisi harga komoditas yang jatuh dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Reorientasi penting untuk tetap mengoptimalkan penerimaan negara.

Rasio penerimaan Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) katanya terus menurun, dari 13,5 persen pada 2022 menjadi 12,8 persen pada 2024.

"Mesin fiskal kita berjalan tetapi belum mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi, apalagi menopang ambisi besar ke depan," pungkasnya.

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • volatilitas
  • komoditas ekspor
  • perlambatan ekonomi

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE