Kebijakan Tarif Trump Ancam PHK Massal Industri Tekstil DIY

JAKARTA- Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Tim Apriyanto memperkirakan industri tekstil Daerah Istimewa Yogyakarta terencam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal sebagai buntut dari kebijakan ratif Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

"Dari 16 pabrik tekstil besar di DIY saya perkirakan hanya 6 yang mampu bertahan. Selebihnya, berisiko tutup atau memangkas operasional secara drastis," katanya, Senin (21/4), menanggapi kebijakan Trump tersebut.

Kebijakan Tarif Trump Ancam PHK Massal Industri Tekstil DIY
- (Dok. istimewa).

Menurut dia, tahun lalu saja tercatat 1.779 orang yang kehilangan pekerjaan dan tahun ini bisa tembus 2.000 orang.

Ia menjelaskan dampak buruk tak hanya menghantui perusahaan yang fokus ekspor melainkan juga industri tekstil yang hanya melayani pasar domestik terkena imbas akibat banjir produk dari Tiongkok yang mencari pasar alternatif di tengah ketegangan perdagangan global.

"Ini efek domino. Yang tidak ekspor pun bisa kena, karena pasar lokal akan jenuh dengan produk impor murah," kata Tim.

Karenanya, dia mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian segera mengambil langkah konkret. "Harus ada konsolidasi informasi dari pelaku industri, lalu diterjemahkan ke strategi diplomasi yang bisa menghasilkan solusi nyata, bukan sekadar retorika," pungkasnya.

Ia menggambarkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin terpuruk setelah dalam beberapa waktu terakhir terseok-seok lantaran kalah bersaing dengan produk impor dari Tiongkok serta masuknya produk barang bekas ilegal.

"Sekarang, badai kembali menghantam industri TPT nasional dengan pengenaan tarif oleh Amerika Serikat (AS) berkisar 15-30 persen yang makin membenamkan industri tekstil nasional."

Di beberapa tempat seperti DIY, industri tekstil tengah menghadapi ancaman krisis yang kian nyata, menyusul kebijakan tarif baru AS terhadap sejumlah produk impor dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tim Apriyanto, menyatakan bahwa masa 90 hari yang diberikan Pemerintah AS justru menjadi periode penuh ketidakpastian bagi pelaku industri dalam negeri.

"Ini masa 90 hari yang justru membuat pelaku ekspor dalam kekhawatiran. Tidak ada terobosan, dan tim lobi pun belum memberi rasa aman. Sementara buyer asing sudah menekan agar beban tarif dibagi dua. Itu tidak mungkin," katanya.

Ia menjelaskan bahwa tekanan biaya produksi di Indonesia, mulai dari tenaga kerja, bahan baku, hingga biaya pemrosesan sudah tinggi. Bila harus menanggung beban tarif tambahan, industri lokal nyaris tak punya ruang bernapas.

"Kalau harga retail di AS bisa dinaikkan hingga 500 persen, kenapa harus kita yang menanggung?" tegasnya.

Meski tarif baru yang diterapkan AS terhadap produk Indonesia lebih rendah dibanding Vietnam, Kamboja, dan Myanmar, posisi Indonesia tetap tidak kompetitif. Hal itu jelas Tim, karena beban overhead cost domestik yang lebih mahal.

Babak Belur

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan, pengenaan tarif 15-30 persen oleh AS terhadap produk tekstil Indonesia sangat memukul ekspor tekstil nasional.

"Apakah di kisaran 15-30 persen atau 47 persen, semuanya tetap berdampak pada ekspansif TPT kita. Sama aja karena intinya kenaikan tarif mempersulit penetrasi ke AS," katanya.

Indonesia, katanya, harus negosiasi ke AS dan memperkuat psar domestik serta diversifikasi pasar destinasi ekspor lainnya.

Pengenaan tarif, papar Esther, juga menghambat ekspor TPT RI, sebab di dalam negeri saja produk tekstil sudah babak belur digempur produk impor.

"Kita patut cemas karena produk TPT Indonesia kalah bersaing dengan Tiongkok di pasar domestik,"ungkap Esther.

Kalah bersaingnya produk TPT Indonesia itu salah satunya karena bahan baku banyak yang diimpor. Selain itu, desain dan produknya out of date (ketinggalan) ditambah ?kapasitas mesin yang kurang karena didominasi mesin tua.

Sebab itu, dia meminta agar kebijakan perdagangan harus berpihak ke industri lokal bukan mendorong atau membuka kran impor TPT lain. Di tengah pengetatan tarif oleh AS, pilihannya kata Esther yakni memaksimalkan pasar domestik yang luas ini, jangan sampai dikuasai produk Tiongkok dan India. Pilihan lainnya, melakukan diversifikasi pasar, tidak hanya fokus ekspor ke negara tertentu seperti ke AS.

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • industri tekstil
  • kebijakan tarif
  • Donald Trump

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE