Aneh! Utang Menumpuk, Kemiskinan Malah Meningkat
JAKARTA- Pengamat ekonomi dari STIE YKPN Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko merasa aneh melihat kenaikan utang pemerintah yang tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskan. "Ini menimbulkan pertanyaan, kenapa utang luar negeri melonjak, sementara di sisi lain angka kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia juga meningkat," katanya Aditya, Senin (16/6), menanggapi kenaikan utang luar negeri yang terus meningkat..
Dalam arah kebijakan politik, katanya, situasi tersebut menjadi ironis lantaran utang yang mestinya menurunkan beban hidup masyarakat justru tidak sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan. "Angka kemiskinan versi Bank Dunia justru mengalami kenaikan cukup tajam."
Bank Indonesia (BI) menyatakan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2025 tercatat 431,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau tumbuh 8,2 persen secara tahunan (year-on year/yoy) dan tumbuh 6,4 persen dibanding posisi bulan sebelumnya atau Maret 2025.
?Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi ?BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (16/6) mengakui kenaikan utang itu bersumber dari sektor publik.
Kenaikan juga kata Ramdan dipengaruhi oleh faktor pelemahan mata uang dollar AS terhadap mayoritas mata uang global," kata Ramdan.
Aditya menjelaskan setelah pembaruan metode perhitungan dari PPP 2017 menjadi PPP 2021, jumlah penduduk miskin Indonesia melonjak dari 60,3 persen menjadi 68,25 persen. Artinya, terjadi kenaikan sekitar 8 poin persentase atau secara kasar, lebih dari 20 juta orang tergolong miskin.
"Ketika utang tumbuh signifikan tetapi kemiskinan versi standar global juga ikut naik, itu menandakan alokasi utang belum optimal untuk meningkatkan daya beli rakyat secara menyeluruh," kata Aditya.
"Kita tidak bisa hanya berpatokan pada data nasional, sebab masyarakat Indonesia hidup dalam konteks global, dengan harga-harga dan kebutuhan yang juga global," katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menunjukkan tren sebaliknya, tingkat kemiskinan nasional justru menurun dari 9,03 persen pada Maret 2024 menjadi 8,57 persen pada September 2024 atau turun 0,46 poin persentase. Penurunan itu menjadikan angka kemiskinan nasional terendah dalam sejarah pencatatan BPS.
Menurut Aditya, perbedaan tren itu terjadi karena definisi dan metodologi yang berbeda. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar minimum di Indonesia, sementara Bank Dunia mengukur standar hidup yang layak di tingkat global.
"Kalau kita pakai kacamata Bank Dunia, sebagian besar rakyat kita belum masuk kategori 'tidak miskin'. Sementara kalau pakai definisi nasional, seolah-olah semua baik-baik saja. Padahal realitas sosial dan ketimpangan tetap besar," tegasnya.
Ia menggarisbawahi bahwa utang publik yang terus bertambah perlu diimbangi dengan kebijakan yang menyasar langsung penguatan ekonomi.
Transparansi dan Akuntabilitas
Secara terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan laporan terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan rentan di Indonesia kini mencapai 194,5 juta jiwa.
"Ini sebuah kondisi yang mencerminkan tantangan struktural dalam distribusi hasil pembangunan," tegasnya.
Di publik kata Badiul akan muncul berbagai pertanyaan, diantaranya untuk apa ULN itu digunakan jika tidak berdampak pada pengurangan kemiskinan? Keseimbangan antara pengelolaan utang dan dampak sosialnya menjadi krusial.
Utang negara seharusnya menjadi instrumen untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan meningkatkan daya beli masyarakat, bukan sekadar menjaga stabilitas makroekonomi tanpa menyentuh realitas keseharian warga miskin.
"Utang luar negeri (ULN) idealnya untuk pembiayaan seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau transformasi ekonomi. Namun, ketika utang meningkat secara signifikan tanpa diiringi penurunan angka kemiskinan, maka muncul pertanyaan kritis, apakah utang benar-benar dikelola untuk mendukung kesejahteraan rakyat?," ujarnya.
Dalam konteks tersebut tata kelola keuangan negara perlu menekankan pada transparansi dan akuntabilitas penggunaan ULN, termasuk tujuan dan dampaknya terhadap pembangunan sosial.
Efektivitas penarikan utang harus dievaluasi guna memastikan benar-benar menghasilkan multiplier effect terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pengurangan kemiskinan.
"Utang jangan hanya untuk menutup defisit, tetapi mendorong transformasi ekonomi yang inklusif," pungkasnya.
Aneh! Utang Menumpuk, Kemiskinan Malah Meningkat
0 Comments





- Sektor Pertanian, Perikanan dan Perkebunan Kembali jadi Penyelamat
- Benahi Akar Masalah, Jangan Bisanya Cuma Nangkap Preman
- Eropa Siapkan Dana Tambahan Demi Gencatan Senjata Di Ukraina
- Waspadalah! Rupiah Berpotensi Rontok ke Level Rp20.000 per Dolar AS
- Ayo Kamu Bisa! Papua Barat Daya Jangan Lagi Tergantung pada Beras
- Waspadalah! Indonesia Bisa Kebanjiran Produk Impor Akibat Kebijakan Tarif AS
- Zelensky Tak Kapok Kerja Sama dengan Washington
- 48 Negara Masih Mengandalkan Dukungan IMF
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!