Deflasi Lampu Kuning? Jangan Buru-buru Panik!

JAKARTA - Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan deflasi menjadi alaram bahaya bagi ekonomi Indonesia mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 diproyeksikan tidak akan mencapai 5 persen. "Ini sudah lampu kuning, ada gejala pertumbuhan ekonomi melambat di kuartal II-2025," katanya seperti dikutip dari Antara.

Namun pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko menenangkan agar jangan buru-buru panik dengan situasi tersebut. "Tapi juga jangan lalai. Ini momen untuk memastikan stimulus fiskal dan penguatan sektor produktif tetap berjalan," pungkas Aditya, ketika dihubungi, Selasa (3/6).

Deflasi Lampu Kuning? Jangan Buru-buru Panik!
- (Dok. istimewa).

Pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan pada Mei kembali mengalami deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan (month to month/mtm), yang menurut Ibrahim Assuabi yang juga pengamat mata uang, deflasi itu merupakan yang ketiga sepanjang tahun setelah Januari (-0,76 persen) dan Februari (-0,48 persen).

Ia mengatakan deflasi berkepanjangan menandakan sebagian besar masyarakat menahan belanja, yang membuat ekonomi ke depan lebih menantang. Artinya, sebagian besar masyarakat tahan belanja, dan menandakan konsumsi rumah tangga melambat dan ekonomi ke depan lebih menantang.

Dari eksternal, aktivitas manufaktur di Tiongkok yang berkontraksi menjadi 48,3 atau di bawah perkiraan sebesar 50,6. "Angka PMI (Purchasing Managers Index) semakin menggarisbawahi dampak perang dagang AS terhadap ekonomi Tiongkok, dan memicu kekhawatiran bahwa permintaan komoditas di negara tersebut akan melemah," ungkapnya.

Pacu Belanja

Menanggapi hal itu, Aditya mengatakan deflasi tidak serta-merta menjadi sinyal genting bagi perekonomian, sehingga perlu dianalisis lebih dalam konteks musiman dan struktur harga barang.

"Deflasi Mei ini bisa jadi dipengaruhi oleh faktor musiman pasca-Lebaran, ketika harga-harga pangan cenderung turun karena normalisasi permintaan. Ini bukan gejala resesi atau penurunan daya beli yang akut," katanya.

Menurut Aditya, yang lebih perlu diwaspadai justru struktur konsumsi rumah tangga dan distribusi belanja masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika deflasi terjadi bukan karena produktivitas yang meningkat atau efisiensi harga, melainkan karena pelemahan daya beli riil, barulah hal itu memerlukan intervensi kebijakan.

Ia menambahkan, perlambatan pertumbuhan di kuartal II-2025 memang mungkin terjadi, tetapi tidak bisa disimpulkan hanya dari angka deflasi.

"Kita harus lihat data penjualan ritel, indeks kepercayaan konsumen, dan realisasi belanja pemerintah sebelum menyimpulkan tren perlambatan," jelasnya.

Aditya mendorong agar pemerintah lebih aktif mempercepat belanja negara dan menjaga stabilitas harga energi serta pangan sebagai upaya menjaga momentum pertumbuhan.

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • stimulus fiskal
  • tahan belanja
  • alaram bahaya

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE