Premanisme Subur Membuat Iklan Investasi Tambah Buruk

JAKARTA - Peneliti Celios, Nailul Huda menyayangkan iklim investasi di Indonesia yang masih buruk lantaran masih suburnya praktik premanisme di lapangan, di samping masalah suku bunga kredit tentunya.

"Berbagai bentuk pungutan liar (pungli), baik yang dilakukan preman ataupun pejabat, merupakan tambahan cost bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Biaya tersebut seharusnya tidak ada, tapi terpaksa harus dikeluarkan sebagai biaya perizinan tidak resmi," kata Nailul, Senin (28/4).

Premanisme Subur Membuat Iklan Investasi Tambah Buruk
- (Dok. istimewa).

Menurut dia, tambahan biaya ini membuat iklim investasi di Indonesia menjadi tidak kondusif dan tidak efisien sehingga membuat banyak investor berbalik arah. "Kesannya ada pembiaran terhadap premanisme seolah dan pemerintah seolah kalah dengan preman," katanya.

Menurut Nailul, masalah human capital index serta kapasitas SDM dalam hal inovasi, Indonesia juga masih kalah bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Tantangan Global

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri meyakini bahwa sebenarnya Indonesia memiliki modal yang cukup baik untuk menggali peluang di tengah tantangan global.

"Masih banyak berita baik dari Indonesia yang bisa kita lihat," kata Yose dalam diskusi virtual bertajuk "IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7 persen, Indonesia Bisa Apa? yang berlangsung di Jakarta, Senin (28/4).

Oleh karena itu, kata dia, Indonesia dituntut menggali berbagai peluang pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan ketidakpastian global yang semakin meningkat. "Menggali peluang itu menjadi sangat penting agar ekonomi RI tidak tumbuh di bawah proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) di level 4,7 persen," katanya.

Menurut Yose, modal pertama yang bisa digali adalah keterbukaan Indonesia terhadap diversifikasi dan relokasi investasi. Selain itu, Indonesia juga menginisiasi kerja sama kolektif dengan negara-negara ASEAN yang mendapat respon positif dalam menghadapi dinamika global.

Pemerintah, kata Yose, juga memiliki program-program yang bisa meningkatkan permintaan, contohnya Makan Bergizi Gratis (MBG), asalkan program tersebut dieksekusi dengan baik.

Modal lainnya adalah tingkat inflasi yang masih rendah. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Indonesia pada Maret 2025 berada di level 1,03 persen (year-on-year/yoy) dibandingkan Februari yang mengalami deflasi 0,09 persen (yoy).

"Inflasi kita cukup rendah, sehingga sebenarnya bisa memberikan ruang untuk kebijakan yang sifatnya lebih ekspansif dan bisa mendukung perekonomian Indonesia lebih baik," tutur Yose.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan optimismenya bahwa Indonesia tetap bisa mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada 2025, di tengah tekanan global serta koreksi target pertumbuhan dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Optimisme itu mempertimbangkan kinerja ekonomi pada kuartal I-2025 yang diperkirakan akan masih tumbuh.

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • Premanisme
  • pungutan liar
  • iklim investasi

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE