Ambisi Terlalu Besar, Adaptasi Film 'Until Dawn' Disebut 'Tidak Punya Arah'

JAKARTA, GENVOICE.ID - Adaptasi film dari game horor "Until Dawn" resmi tayang di bioskop pada 25 April. Namun, alih-alih menjadi penghormatan terhadap sumber aslinya, film ini justru dinilai gagal menemukan arah karena memadukan terlalu banyak elemen dalam satu cerita.

Disutradarai oleh David F. Sandberg, film "Until Dawn" berusaha menjadi banyak hal sekaligus, adaptasi setia dari game tahun 2015, film pengulangan waktu ala "Groundhog Day", komedi, drama bertema trauma, dan penghormatan terhadap seluruh subgenre horor. Hasilnya adalah film yang terasa lebih generik daripada inovatif.

Ambisi Terlalu Besar, Adaptasi Film 'Until Dawn' Disebut 'Tidak Punya Arah'
- (Dok. Variety).

Ceritanya mengikuti sekelompok remaja yang melakukan perjalanan untuk mendukung Clover (Ella Rubin), yang masih berduka atas hilangnya sang kakak. Tanpa diketahui teman-temannya, Clover telah menyusun penyelidikan sendiri dan membawa mereka ke kota tambang kosong bernama Glore Valley, tempat berdirinya sebuah rumah besar misterius. Saat masuk ke rumah tersebut, mereka mengalami serangkaian peristiwa aneh, lalu dibunuh secara brutal oleh pembunuh bertopeng, hanya untuk kembali ke awal hari dengan ingatan kematian mereka masih utuh. Untuk keluar dari siklus ini, mereka harus bertahan hidup "hingga fajar".

Pada awalnya, konsep pengulangan ini berhasil membangun ketegangan. Setiap pengulangan memperkenalkan monster horor baru, menjadikan film ini seperti pertemuan antara "The Cabin in the Woods" dan "Groundhog Day". Walau tidak mengikuti cerita game sepenuhnya, pendekatan ini terlihat menjanjikan. Sandberg juga terbukti masih mahir menggarap adegan horor, dengan teknik sinematik yang menciptakan ketegangan meskipun hasil akhirnya sudah bisa ditebak.

Film ini juga disebut sebagai surat cinta terhadap film horor. Pada paruh pertama, upaya ini terasa berhasil. Meski tidak menawarkan terobosan dalam genre slasher atau monster, setiap adegannya dirancang cukup baik untuk menunjukkan apresiasi terhadap genre tersebut.

Namun, pada pertengahan film, alur cerita bergeser. Pengulangan hari-hari tidak lagi diperlihatkan secara langsung, dan film justru melompat ke beberapa hari kemudian. Kejadian-kejadian penting hanya ditampilkan melalui klip ponsel milik Abe (Belmont Cameli), yang merekam kematian kelompoknya. Ironisnya, klip-klip ini justru menghadirkan bagian paling menyeramkan dalam film, mulai dari efek praktikal yang mengesankan hingga desain monster yang benar-benar mengganggu.

Sayangnya, sisa film diisi dengan penjelasan panjang tentang mitologi dan dunia cerita yang membebani alur. Gagasan "horor sebagai metafora trauma" yang sudah terlalu sering digunakan dalam film horor modern kembali dimunculkan, tanpa banyak hal baru yang ditawarkan. Beberapa monster yang tersisa juga terasa kurang dikembangkan, membuat ketegangan menjadi datar.

Pada akhirnya, pengulangan hari yang awalnya menjanjikan justru terasa sia-sia. Jika bagian pengganti alur tersebut sama menariknya, film ini mungkin masih bisa bertahan. Namun yang muncul justru klimaks yang bisa dengan mudah ditemukan dalam film horor standar produksi Blumhouse.

Versi game "Until Dawn" dikenal dengan narasi bercabang, elemen folklore yang kuat, dan momen horor yang intens. Meski adaptasi langsung ke layar lebar bukan hal mudah, pendekatan konsep waktu berulang seharusnya bisa menjadi jembatan yang efektif. Namun masalah utama film ini bukan karena tidak setia pada game, melainkan karena ia gagal mempertahankan ketegangan dan daya tarik yang sudah dibangun sejak awal.

D
Daniel R
Penulis
  • Tag:
  • Film
  • Film Horor
  • Hollywood
  • game

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE