Krisis Pangan Mengancam, Pejabat Jangan Cuma Pencitraan

Gawat. Gegara krisis iklim, harga beras di Jepang, Malaysia dan Filipina meroket. Ini berpotensi menjadi acaman pangan global. Indonesia kudu waspada. Sebab, selaku negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia sudah banyak bergantung pada pangan impor.

Situasi macam ini patut diantisipasi dini. Pasalnya, kemampuan Indonesia mengatasi ancaman krisis pangan masih diragukan, meski Kementerian Pertanian sangat optimistis. Padahal, mana mungkin mengatasi ancaman secara dadakan tanpa aksi konkret? Misalnya, benahi dulu irigasi tersier dan kuarter, penyaluran pupuk yang tepat waktu ke petani serta bantuan modal dan alat pertanian yang krusial untuk meningkatkan produktivitas.

Krisis Pangan Mengancam, Pejabat Jangan Cuma Pencitraan
- (Dok. istimewa).

Beda dengan Negara maju seperti Jepang. Kendati jumlah petaninya terbatas tetapi mereka sudah memakai teknologi mutakhir. Dengan fokus pada intensifikasi mereka bisa dengan cepat mengatasi defisit pangan karena lahan tak berkurang. Sementara Indonesia yang masih berkutat pada ekstensifikasi malah mengkonversi ratusan ribu hektar lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman.

Awan Santoso, peneliti pada Mubyarto Institute berpendapat guna mewujudkan swasembada pangan diperlukan kebijakan yang konsisten seperti jangan bergantung pada impor, stop alih fungsi lahan, reformasi agrarian untuk petani rakyat, kelancaran pasokan sarana produksi pertanian khususnya pupuk dan irigasi, perbaikan tata niaga dan distribusi pangan melalui penguatan koperasi tani/koperasi pangan.

"Diversifikasi pangan lokal melalui pertanian multikultur juga diperlukan dan cocok di Indonesia karena mengembangkan beranekaragam varietas sesuai potensi dan kearifan lokal seperti sagu, singkong, jagung," ujarnya.

Menurut dai, Pemerintah jangan membuat kebijakan aneh untuk menyelesaikan masalah seperti menawarkan upah tinggi ke petani muda. Sebab, pertanian bukan hanya soal modal, tetapi juga faktor kultur sangat kuat. "Solusi yang ditawarkan banyak yang tidak efektif karena pembuat kebijakan banyak yang tidak mengerti kondisi yang sebenarnya di lapangan."

Para pejabat, katanya, lebih banyak membuat keputusan di ruang-ruang ber-AC yang nyaman, bukan atas dasar pengalaman berada di tengah kehidupan petani di desa. Mereka harus banyak belajar kepada "The Founding Father" Bung Karno yang duduk di sawah bersama kaum "Marhaen" untuk menyerap aspirasi. Sekarang, kebanyakan pejabat hanya pencitraan seolah-olah dekat dengan petani, padahal hanya datang foto-foto sebentar di sawah terus pergi berlalu.

"Jangan kita berjanji tidak impor beras, tetapi padi diganti gandum untuk pakan ternak. Ini sama saja, hanya rekayasa bukan untuk selesaikan masalah, tidak akan selesai masalah bangsa ini karena gandum tidak bisa ditanam di Indonesia, jadi hanya memindahkan masalah sehingga semakin akut," katanya.

Presiden dipandang perlu didampingi penasihat 3-5 orang pakar yang betul-betul paham kondisi bagaimana untuk mencapai swasembada pangan di lapangan, bukan mereka yang banyak berteori, tetapi yang bisa menyelesaikan masalah secara holistik.

Gejolak Pasar Nyata

Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengingatkan bahwa lonjakan harga beras di Jepang seharusnya menjadi alarm bagi Indonesia yang banyak bergantung pada impor.

"Kenaikan harga beras di Jepang menunjukkan bahwa gejolak pasar pangan global itu nyata. Jika Indonesia masih bergantung pada impor beras atau bahan pangan lainnya, kita bisa terkena dampak besar, terutama jika rupiah melemah terhadap mata uang negara eksportir," kata Prof. Dwijono.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ketahanan pangan Indonesia tidak boleh hanya bertumpu pada impor sebagai solusi jangka pendek. Pemerintah harus memperkuat produksi beras dalam negeri dan memastikan sistem distribusi berjalan dengan baik agar harga tetap stabil.

"Ketahanan pangan bukan sekadar memiliki stok beras, tapi juga soal membangun sistem pangan yang mandiri dan tidak mudah terpengaruh oleh fluktuasi global. Diversifikasi pangan dan efisiensi distribusi harus menjadi perhatian utama pemerintah," tambahnya.

Di tengah tren kenaikan harga pangan di berbagai negara, Dwijono berharap pemerintah bisa lebih serius dalam mengembangkan sektor pertanian untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

"Jangan sampai kita baru bertindak setelah harga beras melonjak tajam. Ini momentum untuk memperkuat produksi dalam negeri dan memastikan masyarakat tetap bisa mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau," pungkasnya.

Sementara itu, pengamat Pertanian dari Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa (Unwar), Denpasar, Bali I Nengah Muliarta mengatakan diversifikasi pangan sangat penting untuk mengurangi kebergantungan pada beras, agar tidak rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan.

Cadangan beras pemerintah (CBP) yang mencapai 2 juta ton adalah langkah positif dalam menjaga stabilitas pasokan. Namun, untuk menjaga harga tetap terjangkau, penting untuk mempromosikan alternatif sumber karbohidrat dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberagaman pangan yang ada.

"Jika kurs rupiah terus melemah, menunjukkan bahwa Indonesia harus mengembangkan kemandirian pangan. Diversifikasi tidak hanya mencakup variasi jenis pangan, tetapi juga pengembangan sistem pertanian lokal yang kuat untuk memenuhi kebutuhan domestik," kata Muliarta.

D
Diapari Sibatangkayu
Penulis
  • Tag:
  • Krisis Pangan

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE