Realokasi APBN Dinilai Efisien, Tapi Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi, Kok Bisa?

JAKARTA, GENVOICE.ID - Langkah pemerintah untuk mengefisienkan belanja negara melalui realokasi anggaran dari pos-pos tidak produktif ke sektor yang lebih strategis dinilai sebagai kebijakan yang tepat di tengah keterbatasan penerimaan negara. Namun, tanpa pengelolaan yang cermat, kebijakan ini justru berpotensi menekan laju pertumbuhan ekonomi.

Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin bilang bahwa kebijakan efisiensi anggaran akan mengarahkan pembangunan lebih sesuai dengan prioritas nasional.

Realokasi APBN Dinilai Efisien, Tapi Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi, Kok Bisa?
- (Dok. Pixabay/EmAji).

"Realokasi belanja APBN akan membuat sebagian pihak diuntungkan, sebagian yang lain dirugikan, tetapi paling tidak arah pembangunan akan lebih sesuai dengan yang dimaui pemerintah," kata Wijayanto kepada Antara di Jakarta, Jumat (31/1).

Wijayanto menekankan bahwa dampak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap perekonomian sangat tergantung pada besaran dan alokasinya. Meski efisiensi anggaran dapat meningkatkan efektivitas, potensi efek negatif terhadap sektor-sektor tertentu tidak bisa diabaikan.

Sebagai contoh, pemangkasan anggaran untuk rapat dan perjalanan dinas berisiko menekan industri perhotelan dan transportasi. Hal ini pernah terjadi di awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sebelum akhirnya dilonggarkan karena berdampak signifikan terhadap pelaku usaha dan tenaga kerja.

Kebijakan efisiensi ini didasarkan pada surat Kementerian Keuangan bernomor S-37/MK.02/2025, yang menetapkan pemotongan anggaran pada 16 pos belanja, termasuk alat tulis kantor (90 persen), kegiatan seremonial (56,9 persen), dan perjalanan dinas (53,9 persen). Pemangkasan ini dikhawatirkan akan menghambat proyek strategis dan pengembangan kebijakan berbasis riset.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan karena membutuhkan anggaran besar

"Pemerintah kekurangan anggaran untuk MBG, pada saat yang bersamaan Pemerintah menghemat berbagai pengeluaran, wajar jika diartikan penghematan tersebut terutama untuk memenuhi kebutuhan anggaran MBG," tuturnya.

Ia menegaskan bahwa pengelolaan MBG harus transparan dan efisien. Jika tidak tepat sasaran atau minim melibatkan UMKM dan produsen lokal, realokasi anggaran bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Wijayanto menyarankan agar efisiensi dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara keberlanjutan fiskal dan dampaknya terhadap ekonomi.

Jangan sampai karena MBG, sektor lain yang sama pentingnya atau bahkan lebih penting, justru dikorbankan. Mengingat MBG merupakan "the elephant in the room", maka pengelolaannya harus dipastikan efisien, tepat sasaran, bebas korupsi, melibatkan UMKM dan produsen lokal. Jika tidak, realokasi anggaran berpotensi mengerem laju pertumbuhan ekonomi," katanya.

Industri MICE Terpukul

Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, menilai efisiensi anggaran di pos belanja seremonial, ATK, hingga sewa kendaraan sebagai langkah positif untuk meningkatkan ruang fiskal. Misalnya soal belanja rapat dan seminar memang bisa digantikan dengan rapat online, yang jauh lebih murah dan efektif.

"ATK juga bisa digantikan dengan tanda tangan dokumen secara digital dan ramah lingkungan juga tidak boros kertas. Selama ini beban belanja birokrasi cukup disorot karena menyumbang pelebaran defisit APBN dan tambahan utang pemerintah,"ungkap Bhima.

Konsekwensi negatif dari kebijakan tersebut kata Bhima terutama akan memukul jasa Meeting, Incentives, Convention and Exhibition (MICE) dan industri perhotelan serta agen perjalanan. Pendapatan mereka akan terdampak dignifikan, karena sebagian besar pelaku usaha MICE mengandalkan pendapatan dari event pemerintah.

Apalagi, pasca pandemi pendapatan dari sektor MICE belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, dia khawatir akan ada risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor jasa akomodasi dan makanan minuman.

Dampak ekonomi dari berkurangnya pendapatan sektor MICE mencakup potensi kehilangan lapangan kerja 104.000 orang. Sementara dari sisi produk domestik bruto (PDB) setidaknya ada potential lost hingga 103,9 triliun rupiah dari industri MICE.

Dari Yogyakarta, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa mengatakan, efisiensi anggaran dapat mendorong pertumbuhan sekaligus pemerataan ekonomi nasional.

"Hal itu terjadi, jika anggaran hasil efisiensi itu diputar dan direalokasikan untuk menggerakkan ekonomi rakyat (UMKM), menciptakan lapangan kerja baru, menanggulangi kemiskinan, memperbaiki daya beli masyarakat menengah bawah, dan berbagai kebijakan serta program stimulus ke sektor riil," pungkas Awan.

R
Rivaldi Dani Rahmadi
Penulis
  • Tag:
  • entrepreneur
  • bisnis

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE