Kurs Rupiah Kian Tertekan jika Konflik Iran-Israel Berlanjut
JAKARTA- Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan ketidakpastian geopolitik di kawasan Timur Tengah memicu guncangan besar pada pasar energi global, termasuk Indonesia sebagai negara net importir minyak.
"Indonesia bukan lagi eksportir minyak, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan," kata Rendy menanggapi situasi di Timur Tengah, Senin (23).
Menurut dia, dampak lanjutan yang paling cepat terasa adalah pada nilai tukar (kurs) rupiah. "Ketika harga minyak naik dan ketidakpastian global meningkat, investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk dialihkan ke berbagai aset safe haven seperti dollar Amerika Serikat (AS) dan emas."
Hal itu, katanya, akan berakibat pada pelemahan kurs rupiah. "Kita sudah melihat pola ini berulang kali dalam krisis global sebelumnya, ketegangan geopolitik langsung memicu volatilitas pasar uang," ungkapnya.
Ia mengatakan pelemahan rupiah kemudian dianggap akan membawa implikasi fiskal yang cukup serius, terutama terhadap beban subsidi pemerintah.
Saat harga minyak dunia naik dan rupiah melemah, katanya, harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) otomatis melonjak. Padahal, jika pemerintah mempertahankan harga BBM bersubsidi tetap seperti pertalite dan solar, selisih antara harga pasar dan harga jual harus ditanggung Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam bentuk tambahan subsidi energi.
"Artinya, ruang fiskal menjadi semakin sempit, dan ini bisa mengganggu prioritas anggaran lain seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan," jelasnya.
Situasi itu juga dinilai membawa nuansa deja vu terhadap dampak ekonomi yang terjadi di awal perang Rusia-Ukraina. Kala itu, eskalasi konflik menyebabkan lonjakan tajam harga komoditas, ketidakpastian pasar keuangan, hingga tekanan berat terhadap subsidi energi nasional.
"Meskipun magnitudo konflik Iran-Israel saat ini belum sebesar invasi Rusia ke Ukraina, bukan berarti dampaknya bisa diremehkan. Justru karena sifat konflik ini berpotensi meluas di kawasan yang menjadi poros energi dunia, antisipasi harus tetap dilakukan secara serius," katanya kepada Antara, di Jakarta, Senin (23/6).
Gangguan Pasokan
Mengutip Anadolu Agency, harga minyak mentah melonjak 11 persen selama seminggu terakhir yang berakhir pada 19 Juni, karena ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran mencapai titik tertinggi baru.
Kondisi tersebut memicu kekhawatiran atas potensi gangguan pasokan dan perdagangan di Timur Tengah.
Harga minyak mentah jenis Brent di pasar spot global tercatat naik dari level penutupan 69,65 dollar AS per barel pada 12 Juni, sehari sebelum Israel melancarkan serangan terhadap target-target Iran, menjadi 77,32 dollar AS per barel pada 19 Juni. Sedangkan, minyak West Texas Intermediate (WTI) juga naik 11 persen selama periode yang sama.
Meskipun mengalami kenaikan baru-baru ini, harga minyak Brent tetap di bawah rata-rata tahun 2024 sebesar 80 dollar AS per barel.
Kurs Rupiah Kian Tertekan jika Konflik Iran-Israel Berlanjut
0 Comments
- Ajib! Investasi Proyek Hilirisasi Berpotensi Buka 8 Juta Lapangan Kerja
- Indonesia Dorong ADB Mobilisasi Investasi Sektor Swasta
- Presiden Prabowo Bertekad Kurangi Ketergantungan Impor Energi
- Sektor Pertanian, Perikanan dan Perkebunan Kembali jadi Penyelamat
- Diganjar Denda Rp9,8 Triliun oleh Eropa, TikTok Ajukan Banding
- Eropa Siapkan Dana Tambahan Demi Gencatan Senjata Di Ukraina
- Proteksi Industri Lokal, RI Butuh Kebijakan Hambat Barang Impor
- Prabowo: Sejujurnya Saya Mengagumi Kerberhasilan Singapura
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!