Nilai Tukar Rupiah Bakal Tertekan Jika Konflik Iran-Israel Berlanjut
JAKARTA- Wakil Ketua MPR RI, Bambang Wuryanto meyakini jika perang antara Israel dengan Iran berlangsung lama maka harga minyak dunia diperkirakan bakal naik tajam, yang kalau itu terjadi akan semakin menekan nilai tukar rupiah.
"Oleh karenaya, pemerintah diminta mewaspadai dampak ekonomi dari konflik Israel-Iran di Timur Tengah, khususnya terhadap sektor energi global di mana harga minyak dunia berpotensi melonjak," katanya, Selasa (17/6).
Ia berpendapat, setiap gejolak dalam perdagangan minyak bakal berdampak langsung pada penguatan dolar AS dan pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
Teori tersebut, katanya, mengacu pada sejarah tepatnya pada 1971, ketika minyak tidak lagi dipatok dengan emas tapi dengan dolar Amerika Serikat (AS). "Ini ilmu sederhana saja. Kalau harga minyak naik, logikanya dolar juga akan naik, dan rupiah akan melemah," katanya.
Sekalipun perlu diantisipasi, namun dia memperkirakan dampak konflik Iran-Israel terhadap pasokan minyak Indonesia kemungkinan tidak signifikan karena jenis minyak Iran adalah minyak berat atau "heavy crude" yang hanya bisa diolah di kilang tertentu.
"Kita tidak terlalu banyak memakai minyak berat. Kilang Cilacap memang bisa, tapi itu pun tidak banyak. Artinya dari sisi teknis, pengaruh langsung terhadap kilang kita tidak terlalu besar," tuturnya.
Menurut dia, Pertamina sebagai pengelola utama sektor minyak dan BBM di Indonesia harus siap dengan berbagai skenario, termasuk potensi gejolak harga minyak dunia akibat konflik tersebut.
Lonjakan Tajam
Pakar Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB), Malang, Adhi Cahya Fahadayna, menuturkan, pada Selasa (17/6), harga Brent crude tercatat di kisaran 77 dollar AS per barel, sedangkan WTI berada di sekitar 73 dollar AS per barel.
Sejak awal tahun, Brent katanya menunjukkan kenaikan kumulatif sekitar 3,7 persen, namun lonjakan tajam terjadi pada pekan kedua Juni, ketika harga sempat melonjak hingga 11 persen setelah serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran.
"Lonjakan ini mencerminkan pembebanan risk premium geopolitik antara 6 hingga 8 dollar AS per barel di atas harga fundamental, sehingga memicu volatilitas harian hingga dua hingga tiga persen per sesi perdagangan," ungkapnya.
Adhi melanjutkan, secara kuantitatif, hampir 18 hingga 19 juta barel minyak mentah melewati Selat Hormuz setiap hari, setara dengan sekitar 20 persen dari konsumsi minyak global. Ancaman pemblokadean hanya sebesar 10 hingga 20 persen dari volume tersebut yaitu sekitar 1,8 hingga 3,8 juta barel harian sudah cukup untuk mendorong kenaikan harga tambahan tujuh hingga empat belas persen.
Instrumen Negosiasi
Dalam skenario terburuk, Brent berpotensi menembus level 100 hingga 110 dolar AS per barel dalam hitungan hari, apabila jalur ini benar-benar ditutup sebagai respons Iran terhadap tekanan militer atau sanksi ekonomi.
Dari perspektif realisme offensive ala John Mearsheimer, dominasi Iran atas Selat Hormuz merupakan wujud upaya maksimasi kekuatan relatif untuk menjamin keamanan rezim. Dengan mengintensifkan patroli maritim dan latihan militer di kawasan chokepoint, Teheran memproyeksikan kemampuannya mengancam pasokan energi global sebagai instrumen negosiasi strategis.
"Langkah ini pada gilirannya memicu dilematisasi keamanan bagi Amerika Serikat dan sekutunya, yang merespons dengan menambah fregat dan menggelar patroli bersama, sehingga memacu spiral persaingan kekuatan di Teluk.
Reaksi timbal balik di arena internasional pun meneguhkan logika perimbangan koalisi: konsumen besar seperti AS, Eropa, dan Jepang memperkuat kehadiran militer dan mempercepat penyelesaian jalur pipa bypass Timur-Barat untuk memastikan aliran minyak tetap stabil. Sementara itu, cadangan minyak strategis disiapkan sebagai penyangga jangka pendek terhadap lonjakan harga, dan mekanisme koordinasi di bawah kerangka International Energy Agency dijajaki agar pelepasan cadangan dapat lebih terukur dan tidak menimbulkan distorsi pasar lebih lanjut.
Dalam jangka menengah, dominasi Iran di Selat Hormuz akan terus menjadi pendorong risk premium sekitar lima hingga sepuluh dolar AS per barel, sambil mempertahankan volatilitas dua hingga tiga persen per hari.
"Jika ketegangan ini berlarut, risiko inflasi energi global meningkat, dengan potensi implikasi politik domestik serius di negara-negara pengimpor. Oleh karena itu, upaya diversifikasi rute pasokan, pengelolaan cadangan strategis, dan penguatan kerja sama maritim kolektif menjadi kunci untuk meredam gejolak harga minyak dan menjaga stabilitas energi dunia," tutupnya.
Secara terpisah, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet mengatakan, apa yang akan terjadi sebenarnya akan tergantung pada seberapa besar magnitude dari konflik Israel- Iran dan berapa lama atau durasi konflik akan berlangsung.
"Kalau kita perhatikan saat ini eskalasinya masih terus mengalami peningkatan dan peningkatan eskalasi tersebut akhirnya memberikan implikasi terhadap kenaikan harga minyak Global," ungkapnya.
Kenaikan harga minyak Global terang Rendi sudah tentu akan memberikan implikasi terhadap inflasi global dan ini juga akan ikut memberikan efek terhadap keputusan dari kebijakan bank sentral baik di negara berkembang ataupun negara maju.
Nilai Tukar Rupiah Bakal Tertekan Jika Konflik Iran-Israel Berlanjut
0 Comments





- Amerika Berbohong Ingin Memenuhi Kebutuhan Angkatan Bersenjata Ukraina
- Zelensky Tak Kapok Kerja Sama dengan Washington
- Paus Leo XIV Siap Bantu Wujudkan Perdamaian Dunia
- Keren! Pemerintah Siap Bentuk 70.000 Koperasi Desa Merah Putih
- Nah! Trump Ngaku Bukan Plin-Plan, Cuma Sangat Fleksibel
- Indonesia-AS Diskusikan Penyeimbangan Neraca Pedagangan Barang
- Rusia dan AS Terus Berupaya Mencapai Perdamaian yang Langgeng dan Tahan Lama
- Hati-Hati! Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Merupakan Peringatan Dini
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!