Paket Insentif dan Bansos Bukti Potensi Pelemahan Ekonomi Telah Mengancam Perekonomian
JAKARTA- Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko melihat meningkatnya paket insentif dan bantuan sosial sebenanya menunjukkan bahwa potensi pelemahan ekonomi telah mengancam perekonomian, terutama dari sisi pelemahan daya beli konsumen.
"Yang menjadi pertanyaan apakah paket insentif transportasi dan energi mempunyai multiplier yang besar," tanya Suhartoko, Senin (2/6), menanggapi paket stimulus ekonomi yang diluncurkan pemerintah.
Pemerintah menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai 24,44 triliun rupiah guna menjaga daya beli masyarakat serta menstabilkan perekonomian selama libur sekolah yang berlangsung pada Juni hingga Juli 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat mengumumkan paket stimulus tersebut di Kantor Presiden, Senin (2/6), mengatakan paket itu dirancang mencakup lima komponen utama, mulai dari subsidi transportasi hingga bantuan sosial dan ketenagakerjaan.
"Dalam rangka merespons dampak global hari ini, Bapak Presiden memutuskan memberi paket stimulus agar paket pertumbuhan ekonomi dijaga momentumnya dan stabilitas diperkuat," kata Menkeu.
Suhartoko berpendapat, dalam situasi daya beli melemah, rumah tangga tentunya akan lebih memprioritaskan kebutuhan primernya dari pada kebutuhan tersier untuk bepergian dengan tujuan non pekerjaan. Dengan demikian insentif untuk transportasi dampak multipliernya sepertinya rendah.
Sedangkan paket insentif energi seperti diskon listrik yang bertujuan meningkatkan pendapatan siap dibelanjakan dan meningkatkan konsumsi mempunyai risiko terjadinya rumah tangga pemborosan dalam mengkonsumsi listrik karena merasa biayanya murah.
Akibatnya biaya penggunaan listrik pada rumah tangga tidak mengalami penurunan, sehingga diskon listrik tidak meningkatkan pendapatan siap dibelanjakan dan peningkatan konsumsi tidak tercapai.
Dalam situasi seperti itu, perbanyak pekerjaan di sektor formal juga lebih sulit, karena pemicu pelemahan ekonomi terbesar adalah daya beli domestik. "Solusinya yang lebih masuk akal adalah intervensi pasar dengan menjual lebih murah dan lebih banyak jenis barangnya.
Namun hal itu membutuhkan dana yang besar jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama," ungkap Suhartoko.
Respon Panik
Diminta terpisah, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan stimulus yang diklaim untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di kisaran 5 persen itu terlalu terburu-buru, tidak berbasis perencanaan yang matang, dan berpotensi memperbesar tekanan fiskal negara.
Paket tersebut jelasnya lebih menyerupai respons kebijakan panik ketimbang strategi jangka panjang yang terukur. "Stimulus tanpa kajian yang dalam seperti memasak tanpa resep. Alih-alih menyajikan hidangan lezat, yang terjadi bisa justru kekacauan dapur," kata Achmad.
Paket insentif yang dirancang pemerintah mencakup diskon tarif transportasi umum, tol, dan listrik, kemudian perluasan bantuan sosial bak subsidi upah maupun perpanjangan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja. Seluruh komponen tersebut jelasnya berpotensi menjadi beban serius bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Data per April 2025 menunjukkan pendapatan negara baru mencapai 810,5 triliun rupiah atau sekitar 27 persen dari target. Sementara itu, defisit yang semula 31,2 triliun rupiah per Februari, sempat melonjak menjadi 104 triliun rupiah pada Maret sebelum akhirnya berbalik surplus 4,3 triliun rupiah pada April.
"Menyusun stimulus di tengah defisit yang melebar dan pendapatan yang seret ibarat menambal ban bocor dengan selotip," kata Achmad.
Menurut dia, ada tiga kelemahan utama dalam paket stimulus tersebut yaitu
ketiadaan prioritas dan tumpang-tindih program, minim transparansi pendanaan, dan distribusi manfaat yang tidak berkeadilan.
Achmad menilai stimulus baru itu justru bisa berbenturan dengan program besar lainnya seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan 3 juta rumah, dan Koperasi Merah Putih. "Tanpa harmonisasi, tiap program seperti alat musik tanpa konduktor: tidak sinergis dan membingungkan," katanya.
Berkaitan dengan penyaluran, dia memberi catatan pada diskon tol dan listrik dinilai regresif karena hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. "Petani, nelayan, dan kelompok rentan justru hanya mendapat remah lewat bantuan sosial," tegasnya.
Sebab itu, dia menyarankan Pemerintah segera memublikasikan desain detail stimulus, mengevaluasi program eksisting agar tidak boros dengan melibatkan pakar independen untuk mengukur dampaknya.
Sementara itu, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet mengatakan efektivitas kebijakan sangat bergantung pada implementasi yang tepat sasaran dan bebas dari kebocoran birokrasi.
Penebalan bantuan sosial, misalnya, perlu disertai dengan pemutakhiran data penerima agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial maupun ketimpangan distribusi.
Untuk insentif ke sektor transportasi dan energi harus dikawal dengan kebijakan keberlanjutan agar tidak hanya menjadi stimulus jangka pendek, melainkan mendorong transformasi struktural yang lebih dalam.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti juga menyoroti distribusi yang dinilai hanya fokus pada pemberian insentif untuk mendorong konsumsi rumah tangga khususnya kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
"Insentif ke sektor industri dan sektor bisnis juga harus diberi insentif," tegasnya.
Kelompok masyarakat menengah juga harus diberi insentif karena mereka pembayar pajak. Insentif juga perlu untuk mendorong investasi dan ekspor," pungkas Esther.
0 Comments





- Indonesia Memilih Jalur Diplomasi Hadapi Kebijakan Tarif Trump
- Nah Lho! Hemat Pangkal Kaya, Belanja Pangkal Pulih
- Miris! Pertumbuhan Ekonomi Nasional Turun ke Level 4,87 Persen
- Ini Kiat Menghadapi Kebijakan Dagang Trump yang Proteksionis
- Hidup Petani! Tanpa Pangan Tidak Ada NKRI
- Para Kardinal Diminta Memilih Figur yang Mampu Lindungi Gereja Katolik
- Donald Trump Ingin Akhiri Ketergantungan Terhadap Mineral Impor
- Waspadalah! Donald Trump Sewaktu-waktu Bisa Berubah
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!