Gosip Hal Buruk atau Justru Bermanfaat? Ini Kata Peneliti
JAKARTA, GENVOICE.ID - Pope Francis tampaknya bukan penggemar gosip, ini terlihat dalam salah satu penampilannya menjelang Natal 2024, ia menyebut gosip sebagai "kejahatan yang menghancurkan kehidupan sosial, meracuni hati, dan tidak menghasilkan apa-apa ... gosip itu nol"
Tapi di luar tembok Vatikan, pandangan tentang gosip mulai berubah.
Dilansir dari Guardian, penelitian terbaru di AS menemukan bahwa gosip sebenarnya berevolusi untuk membantu kelompok sosial berfungsi lebih baik. Ia menyebarkan informasi berguna, mempererat hubungan, dan mendorong kerja sama. Bahkan, studi itu mengungkap bahwa hampir semua orang bergosip, dengan rata-rata satu jam per hari!
Jadi, apakah gosip benar-benar buruk? Ataukah ada cara cerdas untuk melakukannya?
Menurut Frank McAndrew, profesor psikologi di Knox College, Illinois, gosip bukan sekadar kebiasaan buruk yang harus dihilangkan.
"Gosip itu seperti makan atau bernapas, bagian alami dari siapa kita," ujarnya.
Banyak orang menganggap mereka tidak bergosip, padahal mereka tetap berbagi informasi tentang orang lain dengan alasan "peduli" atau sekadar bertukar kabar penting. Faktanya, sebagian besar gosip tidak berbahaya, bahkan bisa membawa manfaat.
"Bukan soal apakah Anda bergosip atau tidak, tapi apakah Anda melakukannya dengan baik atau tidak," tambah McAndrew.
Menurut McAndrew, tukang gosip yang baik biasanya populer. Mereka selalu tahu perkembangan terbaru, tetapi tidak asal menyebarkan informasi.
"Mereka punya reputasi sebagai orang yang bisa dipercaya. Mereka tidak menyebarkan gosip secara sembarangan atau dengan cara yang kejam," jelasnya.
Sebaliknya, tukang gosip yang buruk cenderung sembrono, menyebarkan semua yang mereka tahu tanpa berpikir dampaknya. Ada juga yang menggunakan gosip untuk menjatuhkan orang lain demi keuntungan pribadi.
Meskipun gosip sering dikaitkan dengan hal negatif, tidak semua gosip harus bernada buruk. Maria Kakarika, profesor di Durham University Business School, menyarankan untuk mencoba "gosip positif", seperti membicarakan kebaikan seseorang di belakang mereka atau memuji keberhasilan mereka.
Gaya gosip seperti ini tidak hanya mengurangi aura negatif dalam komunikasi sosial, tetapi juga menciptakan citra positif bagi penyebarnya.
"Orang akan melihat Anda sebagai pribadi yang menyenangkan," kata Kakarika.
Di dunia kerja, ini sangat penting. Studi Kakarika menemukan bahwa tukang gosip di kantor sering dipandang negatif, dan kebiasaan mereka bisa berdampak pada karier mereka. Namun, ada pengecualian, yaitu ketika gosip bertujuan untuk melindungi kelompok, seperti memperingatkan tentang rekan kerja yang toxic atau tidak bekerja dengan adil.
Gosip sering kali mengandung informasi berharga yang bisa mengungkap masalah tersembunyi.
Kathryn Waddington, pakar psikologi dari University of Westminster, mengutip peribahasa penduduk asli Amerika, "Dengarkan bisikan, maka Anda tak perlu mendengar teriakan."
Jika suatu gosip muncul berulang kali dari berbagai sumber, mungkin ada kebenaran di dalamnya. Namun, Waddington mengingatkan agar tetap selektif:
"Tidak semua gosip berkualitas baik. Anda harus tahu siapa 'dealer' Anda."
Gosip sering dikaitkan dengan perempuan, padahal pria juga melakukannya. McAndrew menjelaskan bahwa bagi perempuan, gosip sering kali menjadi alat bertahan hidup.
"Memahami siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang berpengaruh adalah keterampilan penting bagi mereka sejak lama," katanya.
Bahkan saat ini, gosip sering digunakan sebagai bentuk perlindungan. Kasus pelecehan yang melibatkan Harvey Weinstein dan Bill Cosby, misalnya, sudah menjadi gosip bertahun-tahun sebelum akhirnya terbongkar ke publik. Di kantor, perempuan mungkin memperingatkan rekan baru tentang kolega pria yang bermasalah.
"Kadang gosip dianggap negatif, padahal bisa menjadi cara untuk melindungi," kata McAndrew.
Menurut McAndrew, gosip juga berfungsi sebagai "lem sosial" yang mengeratkan hubungan.
"Saat saya berbagi informasi sensitif dengan Anda, saya sebenarnya mengatakan: 'Saya mempercayai Anda'," jelasnya.
Tapi, penting untuk berhati-hati dengan siapa kita bergosip. Jika seseorang berbicara buruk tentang sahabatnya kepada orang lain, itu bisa terlihat sebagai pengkhianatan. Namun, jika dua sahabat berbicara tentang teman ketiga, biasanya ada rasa saling pengertian yang lebih kuat.
Semakin dekat kita dengan orang yang dibicarakan, semakin tinggi risikonya.
"Kalau saya membicarakan istri saya dengan rekan kerja yang tidak saya kenal baik, itu adalah tanda bahaya besar," kata McAndrew.
Dulu, gosip menyebar secara perlahan. Sekarang, dengan media sosial dan komunikasi digital, satu informasi bisa tersebar dalam hitungan detik, dan itu yang sering menimbulkan masalah.
"Kerusakan akibat gosip terjadi jauh lebih cepat sekarang," kata McAndrew.
Bahkan bukti seperti screenshot bisa disalahartikan. Oleh karena itu, membatasi gosip hanya dalam percakapan langsung bisa lebih aman, karena memberi kesempatan untuk menyampaikan konteks dan nada yang lebih jelas.
Selain itu, McAndrew menyarankan untuk berhati-hati saat bergosip di bawah pengaruh alkohol.
"Saat Anda kehilangan kendali dan tidak ingat apa yang Anda katakan, itu bisa berbahaya," ujarnya.
Kalau sudah terlanjur ketahuan bergosip, solusi terbaik adalah mengakuinya.
"Minta maaf dan yakinkan orang yang tersinggung bahwa itu tidak akan terjadi lagi," kata McAndrew.
Yang jelas, jangan coba-coba menyangkal atau menganggap enteng.
"Jika seseorang menganggap informasi itu pribadi, dan Anda bilang 'Ah, itu kan sepele', itu justru memperburuk situasi," tambahnya.
Ini adalah dilema moral, "Tidak ada jawaban benar atau salah," kata Waddington.
Jika memberi tahu seseorang hanya akan menyakiti mereka, mungkin lebih baik diam. Tapi jika gosip itu salah atau merugikan, ada baiknya membantu mereka meluruskan fakta. Bahkan, ini bisa menjadi cara membangun aliansi.
"Tapi ini harus dilakukan dengan hati-hati," tambah McAndrew.
Gosip bisa terasa menyenangkan seperti menikmati hidangan lezat, tapi jika berlebihan, bisa bikin mual. Jika Anda merasa tidak nyaman dengan gosip yang sedang dibicarakan, Waddington punya trik sederhana, sebelum orang lain melanjutkan cerita, tanyakan, "Kenapa kamu menceritakan ini kepadaku?"
Pertanyaan itu bisa mengarahkan percakapan dan membuat Anda tetap mengendalikan situasi tanpa terkesan menghakimi. Bahkan, orang yang hendak bergosip mungkin akan berpikir ulang.
"Ini pertanyaan yang sangat bagus, mereka bisa jadi akan menyadari sendiri: 'Oh, benar juga-kenapa ya saya melakukan ini?'" ujar Waddington.
Gosip Hal Buruk atau Justru Bermanfaat? Ini Kata Peneliti
0 Comments





- Duka dan Ketidakpastian Menyelimuti Myanmar Pasca Gempa Dahsyat
- Netflix Uji Coba Fitur Pencarian Baru dengan Teknologi OpenAI untuk Menyempurnakan Pengalaman Pengguna
- Mulai 1 Juni! KRL Baru Seri CLI-125 Resmi Beroperasi di Jabodetabek, Ini Fitur Canggihnya
- Pesta Juara Liverpool Diwarnai Insiden Mengerikan, Mobil Tabrak Fans di Tengah Jalan
- PKL Bayar Jutaan ke Ormas? Ini Fakta Mengejutkan di Balik Sepinya Pasar!
- Para Kardinal Gelar Pertemuan Pertama Usai Wafatnya Paus Fransiskus
- Bukan Sekadar Ramuan! Jamu Kini Jadi Senjata Rahasia Kesehatan Indonesia, Ini Kata BPOM
- Mengenal Lebih Dalam Sosok Kunci dari Persib Bandung: Ciro Alves
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!