Jepang Terpojok di Tengah Ancaman Tarif Trump dan Ancaman Resesi

JAKARTA, GENVOICE.ID - Hubungan dagang antara Jepang dan Amerika Serikat kini berada di ujung tanduk. Setelah sebelas minggu dan tujuh kali perundingan, kedua negara belum menemukan titik temu, sementara waktu terus berjalan menuju akhir masa jeda tarif selama 90 hari yang diberlakukan oleh Donald Trump.

Harapan sempat tumbuh pada April lalu ketika Ryosei Akazawa, Menteri Revitalisasi Ekonomi Jepang, bertemu Trump di Gedung Putih dalam suasana yang tampak akrab. Namun, suasana hangat itu kini telah berganti jadi ketegangan. Trump secara terbuka menyindir Jepang karena tidak membeli beras dan mobil asal AS, menyebut negara itu "manja" dan "keras kepala."

Jepang Terpojok di Tengah Ancaman Tarif Trump dan Ancaman Resesi
- (Dok. Al Jazeera).

Perseteruan ini semakin pelik karena terjadi di tengah berbagai tekanan domestik di Jepang. Harga beras melonjak, krisis biaya hidup menghantui rakyat, dan pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba tengah goyah menjelang pemilu majelis tinggi pada 20 Juli mendatang. Kekalahan koalisi sebelumnya di majelis rendah makin memperparah posisi politik pemerintah.

Washington menuntut Jepang meningkatkan impor minyak, produk pertanian, dan kendaraan asal AS untuk menekan defisit perdagangan yang mencapai 68 miliar dolar. Namun, Jepang justru mengeluhkan tarif 25% untuk mobil buatan mereka, serta ancaman kenaikan tarif barang lain dari 10% menjadi 24%.

Yang makin menyakitkan, saat hubungan dagang dengan Jepang memburuk, AS justru menurunkan tarif untuk Vietnam dari 46% menjadi 20%.

Di sisi lain, pemerintah Jepang juga khawatir akan reaksi petani lokal jika mereka menyetujui pembukaan keran impor beras lebih besar dari AS. Petani padi merupakan basis pemilih penting bagi partai yang berkuasa, LDP.

Trump bahkan melempar wacana mengenakan tarif hingga 35% untuk barang-barang asal Jepang, dan meragukan kesepakatan bisa tercapai. Hal ini membuat posisi Akazawa kian terdesak. Meski ada wacana ia akan kembali ke Washington akhir pekan ini, waktu hampir habis untuk mencetak terobosan berarti.

Pemerintah Jepang memilih untuk tidak membalas sindiran Trump secara langsung. Wakil Sekretaris Kabinet, Kazuhiko Aoki, hanya mengatakan bahwa Jepang akan terus melakukan perundingan bilateral dengan cara yang "tulus dan konstruktif."

Namun kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Nilai ekspor Jepang ke AS tahun lalu mencapai 148 miliar dolar, menjadikan AS sebagai mitra dagang terbesar kedua setelah China. Industri otomotif Jepang juga sudah merasakan dampaknya-ekspor mobil ke AS turun 25% pada Mei dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu, keputusan Trump yang tidak kunjung melunak, dibarengi dengan batalnya kunjungan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio ke Jepang, menambah daftar ketegangan diplomatik. Bahkan Ishiba sempat membatalkan kehadirannya di KTT NATO, diduga karena tekanan dalam negosiasi dagang yang belum selesai.

Menurut analis politik James Brady dari firma Teneo, kecil kemungkinan akan ada kesepakatan besar sebelum tenggat pekan depan. Jepang tidak bisa terlalu banyak mengalah dalam isu mobil, minyak, dan beras-terutama saat tekanan politik dan ekonomi tengah mencapai titik rawan.

D
Daniel R
Penulis
  • Tag:
  • Jepang
  • Presiden Trump

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE