Georgia, Negeri Baru Industri Film, Dari Tenda Sirkus ke Studio Canggih Bernilai Ratusan Juta Dolar
Genvoice.Id - Sabtu, 2025 Mei 17 - 08:00 WIB
JAKARTA, GENVOICE.ID - Produksi film di lokasi sering kali disamakan dengan sirkus keliling, keduanya membawa komunitas sementara yang meriah, meninggalkan jejak dan kenangan sebelum pergi.
Dilansir dari Variety, tak ada yang memahami hal ini lebih baik daripada Robert A. Halmi, produser yang 45 tahun lalu datang ke Georgia untuk menggarap film TV berjudul When the Circus Came to Town, yang benar-benar difilmkan dalam tenda sirkus.
- (Dok. Variety).
Halmi mengenang bagaimana dulu kualitas suara bukan prioritas karena hampir semua dialog di-dubbing ulang, tapi yang jauh lebih berubah dibanding teknologi suara adalah lanskap perfilman Georgia. Sejak negara bagian ini meluncurkan insentif pajak film dan TV pada 2008, dengan potongan pajak tanpa batas hingga 30 persen, Georgia berkembang menjadi pusat produksi raksasa di AS.
Saat ini, sejumlah proyek besar sedang syuting di Georgia, termasuk film thriller sejarah By Any Means yang dibintangi Mark Wahlberg, film biopik Amazon Madden dengan Nicolas Cage, serta serial Cape Fear di Apple TV+ yang dibintangi Javier Bardem dan Amy Adams.
Halmi kembali terlibat dalam perkembangan ini. Enam bulan lalu, ia membuka Lionsgate Studios Atlanta, sebuah fasilitas baru senilai 200 juta Dolar AS di atas lahan 40 hektare, yang dikelola oleh perusahaannya, Great Point Studios. Studio ini menambah daftar panjang kompleks produksi besar di negara bagian itu seperti Assembly, Shadowbox, Three Ring, dan Tyler Perry Studios, seluruhnya mencakup lebih dari 4,4 juta kaki persegi ruang soundstage.
Tak hanya fasilitas profesional, Georgia juga punya SDM unggul lewat Savannah College of Art and Design (SCAD). SCAD memiliki studio film seluas 11 hektare yang dilengkapi teknologi produksi virtual mutakhir, termasuk dua panggung LED dan 40 fasad jalan dengan interior yang lengkap. Ketua jurusan film dan televisi SCAD, D.W. Moffett, mengatakan bahwa studio mereka sudah siap mengerjakan produksi setara Hollywood.
Dengan infrastruktur permanen yang terus bertambah, syuting di Georgia kini jarang dilakukan di gudang bekas atau tenda darurat. Proyek-proyek besar pun lebih banyak menyerap kru lokal berkat basis tenaga kerja terampil yang telah tumbuh kuat.
"Insentif pajak di sini sudah lama menjadi yang paling kompetitif di AS. Kru lokalnya juga sangat kuat dan biayanya lebih murah dari California. Cuacanya pun lebih bersahabat dibanding New York," ujar Halmi.
Para pekerja film kini tinggal di The Town at Trilith, kawasan residensial seluas 235 hektare di dekat Trilith Studios. Studio ini, yang berdiri di atas lahan 1.000 hektare, telah menjadi rumah bagi proyek-proyek besar seperti Megalopolis karya Francis Ford Coppola serta sejumlah film Marvel, seperti Thunderbolts dan Captain America: Brave New World.
Produser Richard Suckle, yang pindah dari Los Angeles ke Georgia tahun lalu, mengatakan bahwa Trilith bukan sekadar studio, melainkan komunitas kreatif yang lengkap.
"Biasanya studio itu cuma bangunan dan kantor. Tapi di sini kamu punya semuanya, bahkan jika kamu bukan bagian dari dunia film sekalipun," ujarnya.
Selain fasilitas produksi dan tempat tinggal, Trilith juga menyediakan layanan tambahan seperti tim keuangan film internal dan konsultan teknologi kreatif Barry Williams, supervisor VFX dari The Mandalorian. Menurut CEO Trilith Frank Patterson, teknologi yang dimiliki mampu memangkas biaya VFX secara drastis.
"Kamu pikir butuh 15 juta Dolar AS, Barry bisa buat itu jadi 6 juta," katanya.
Namun, meski berkembang pesat selama 17 tahun terakhir, industri film Georgia tak luput dari tantangan. Pandemi, mogok kerja WGA dan SAG-AFTRA, serta penurunan proyek produksi, yang kini dijuluki sebagai "Great Contraction", membuat total belanja produksi Georgia anjlok dari 4,4 miliar Dolar AS di tahun fiskal 2022 menjadi 2,6 miliar Dolar AS di 2024.
Yang paling menyakitkan adalah, setelah tercapainya kesepakatan kontrak baru antara serikat pekerja IATSE dan Teamster, banyak produksi justru pindah ke luar negeri demi tenaga kerja lebih murah dan insentif tambahan.
"Banyak produksi pindah ke Kanada dan negara lain. Itu bukan rahasia," kata Michael Clark dari Eagle Rock Studios Atlanta, yang saat ini beroperasi sekitar 75% kapasitas.
Untuk tetap kompetitif, Georgia memperbaiki hal-hal yang bisa mereka kendalikan. Sejak Januari, Departemen Pendapatan Georgia menyederhanakan proses audit kredit pajak, membuat sistemnya lebih cepat dan transparan. Mereka juga memperbarui aturan platform distribusi, menambahkan saluran FAST dan menghapus format usang seperti LaserDisc, serta memperpanjang masa berlaku insentif pascaproduksi hingga 2031.
"Itu bukan perubahan yang akan mengguncang industri, tapi setidaknya mereka memperbarui definisinya, dan itu langkah yang baik," kata Stephen Weizenecker, pengacara spesialis pembiayaan film di Atlanta.
Dengan kombinasi insentif fiskal, infrastruktur mutakhir, dan komunitas kreatif yang mendukung, Georgia terus membuktikan diri sebagai pemain utama dalam industri perfilman Amerika Serikat. Jika dulu film difilmkan di bawah tenda sirkus, kini negara bagian ini berdiri sebagai panggung megah industri hiburan dunia.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!