Masa Kecil Terancam Lenyap di Balik Layar Smartphone? Ini Fakta yang Bikin Merinding!
JAKARTA, GENVOICE.ID - Sudah bukan rahasia kalau smartphone makin merajalela di tangan anak-anak. Tapi pertanyaannya, apakah masa kecil bisa tetap hidup di dunia yang dikuasai notifikasi dan scroll tanpa henti?
Jonathan Haidt, penulis buku fenomenal The Anxious Generation, melemparkan bom waktu pada dunia parenting lewat risetnya soal efek smartphone terhadap generasi muda. Setahun setelah bukunya mengguncang, kini ia kembali dengan satu pertanyaan: apakah ada yang benar-benar berubah?
Ketika Haidt ditanya soal kondisi terkini, ia menjawab dengan jujur bahwa belum ada anak Gen Z yang ia temui yang menyangkal efek negatif dari ponsel pintar.
"Mereka sadar ini masalah, tapi mereka merasa nggak bisa lepas," katanya, seperti dikutip dari BBC, Rabu, (9/4).
Dan itu bukan karena mereka nggak tahu bahayanya, tapi karena lingkungan sosial mereka juga nggak mendukung untuk berhenti.
Sebagai orang tua, dilema ini terasa nyata. Anak mau lepas dari HP, tapi temannya semua online. Anak mau fokus sekolah, tapi notifikasi terus-terusan muncul. Akhirnya, banyak guru frustrasi. Belajar jadi susah karena setengah dari siswa sibuk nonton video pendek atau main game saat pelajaran berlangsung.
Tapi angin perubahan mulai berhembus. Di berbagai negara, sekolah mulai menerapkan kebijakan "bebas smartphone", bukan cuma dilarang pas pelajaran, tapi benar-benar dikumpulkan sejak pagi dan baru dikembalikan sore hari. Hasilnya? Luar biasa.
"Disiplin meningkat, drama remaja berkurang, bolos sekolah turun, dan yang paling bikin hati hangat: tawa anak-anak kembali terdengar di lorong sekolah," ungkap Haidt dengan semangat. Meski ada penolakan di minggu-minggu awal, mayoritas anak dan orang tua akhirnya mendukung.
Di Inggris dan Australia, kebijakan ini bahkan mulai didorong lewat regulasi. Di Amerika Serikat, yang sistem hukumnya lebih rumit, perjuangannya dilakukan per negara bagian.
Fenomena ini, menurut Haidt, nggak bisa dilepaskan dari perubahan besar di tahun 1990-an, ketika rasa percaya antarwarga mulai luntur. "Dulu, membesarkan anak adalah proyek bersama. Sekarang, semuanya serba sendiri, terutama para ibu," katanya.
"Di era 2000-an, kita optimis banget sama teknologi. Komputer dianggap alat belajar. Tapi sekarang? Anak-anak hanya jadi konsumen pasif. Mereka nggak belajar coding atau bikin karya. Mereka cuma 'rebahan digital', dicekoki konten algoritma," lanjut Haidt dengan nada serius.
Ironisnya, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah justru paling banyak terpapar dampak buruk ini. Dulu, perjuangannya adalah "berikan akses teknologi untuk semua." Sekarang, menurut Haidt, perjuangannya berubah menjadi berikan perlindungan digital yang sama seperti yang dimiliki anak-anak orang kaya.
Bersama timnya, Haidt kini tengah menyiapkan versi The Anxious Generation untuk anak-anak usia 8-12 tahun. Pesannya jelas, lawan balik perusahaan teknologi yang mencoba membuatmu kecanduan.
"Kalau kamu ingin hidup yang seru dan penuh petualangan, jangan biarkan mereka menjeratmu," tutupnya.
Kalau kamu seorang Gen Z yang pernah ngerasa capek terus scroll tapi nggak bisa berhenti, mungkin kamu sedang hidup di era yang disebut Haidt sebagai "generasi cemas". Tapi kabar baiknya, sekarang kamu tahu, kamu nggak sendiri, dan masih ada waktu buat mengambil kembali masa kecilmu Gen!
0 Comments





- Menkomdigi Lantik Raline Shah Jadi Staf Khusus, Jalankan Program Edukasi Digital
- Viral Sekuriti Finns Beach Club Bali Dikeroyok 4 Turis Asing, Netizen Geram
- Matcha: Dari Minuman Sehat Sampai Jadi Tren Kecantikan
- Kenali Perbedaan Hotel dan Service Residence, Mana yang Lebih Cocok untuk Staycation?
- Trailer ‘Lilo & Stitch’ Versi Live Action Dirilis, Alien Biru Siap Bikin Onar!
- Bye Mata Panda! Begini Cara Ampuh Atasi Lingkaran Hitam dan Kantung Mata
- G-Dragon Kembali Gelar Konser Solo ‘Ubermensch’ di Jakarta!
- Kulit Bruntusan? Kenali Comedonal Acne dan Cara Ampuh Mengatasinya!
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!