Gareth Evans Kembali ke Akar Aksi Lewat Film "Havoc" Bersama Tom Hardy

JAKARTA, GENVOICE.ID - Setelah lebih dari satu dekade sejak kesuksesan "The Raid" dan "The Raid 2" yang mengangkat bela diri Pencak Silat ke panggung dunia, sutradara Gareth Evans kembali ke genre aksi lewat film terbarunya, Havoc. Dilansir dari Variety, Evans membahas perjalanannya sejak meninggalkan Indonesia, pendekatannya terhadap adegan aksi, hingga kolaborasinya dengan Tom Hardy.

Evans dikenal sebagai pembuat film yang mengutamakan narasi dalam merancang adegan laga. Ia tidak pernah memulai dari keinginan membuat "adegan aksi di klub malam" semata. Sebaliknya, ia membangun cerita dari satu adegan kecil dan mengembangkannya secara organik melalui karakter, konflik, dan tema. Dalam Havoc, ide awalnya dimulai dari seorang polisi yang tiba di TKP dan mulai mengendus narkoba dari cangkir kopi, sebuah potongan yang kemudian menjalar menjadi jalinan cerita kompleks penuh intrik dan kekerasan.

Gareth Evans Kembali ke Akar Aksi Lewat Film "Havoc" Bersama Tom Hardy
- (Dok. The Hollywood Reporter).

Berbeda dari "The Raid" yang kental dengan Silat, Havoc tidak berfokus pada seni bela diri tertentu. Karakter utama, Walker, yang diperankan Hardy, lebih mengandalkan kekuatan fisik mentah dan aksi brutal ala film kriminal Amerika era 1970-an. Evans menjelaskan bahwa keputusan itu disesuaikan dengan latar belakang Walker dan gaya khas Tom Hardy, yang dikenal sebagai aktor dengan pengalaman dalam berbagai produksi laga besar.

Havoc juga memberi penghormatan pada genre "heroic bloodshed" ala John Woo serta menambahkan lapisan emosional melalui tema hubungan orang tua dan anak yang retak. Evans, yang juga seorang ayah, menjadikan kecemasan membesarkan anak sebagai elemen emosional yang mendasari narasi penuh kekerasan ini.

Menariknya, film ini berlatar waktu Natal, pilihan yang menurut Evans bukan hanya terinspirasi dari Shane Black, tetapi juga relevan karena menggambarkan waktu berkumpulnya keluarga, berbanding terbalik dengan kondisi karakter-karakter dalam cerita.

Dalam proses produksi, Evans bekerja erat dengan stunt coordinator Jude Poyer untuk menciptakan adegan laga yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerminkan psikologi tiap karakter. Musik pun memainkan peran penting. Gesaffelstein, M.I.A., hingga Sigur Rós menjadi bagian dari playlist yang memengaruhi ritme dan nuansa visual film.

Soal Hardy, Evans menyebut sang aktor datang ke lokasi syuting dalam kondisi fisik prima dan sangat siap, berkat pengalaman sebelumnya di film seperti Mad Max: Fury Road. Pendekatan Evans yang tidak menggunakan "coverage" konvensional untuk adegan laga membuatnya fokus pada setiap potongan gerakan dan kamera agar penonton bisa mengikuti aksi dengan jelas.

Di luar Havoc, Evans mengaku masih terbuka untuk proyek-proyek besar maupun independen, bahkan sempat mengembangkan film DeathStroke untuk DC yang akhirnya batal. Ia juga ingin menyeimbangkan proyek kecil dan besar seperti Steven Soderbergh.

Melihat dunia perfilman aksi saat ini, Evans merasa optimistis. Menurutnya, film aksi berkualitas kini bisa datang dari mana saja, misalnya dari Jepang, Thailand, Eropa, bahkan Amerika Serikat. Ia mengapresiasi karya-karya seperti Rurouni Kenshin, serta para koreografer seperti Kenji Tanigaki, Chad Stahelski, dan Larnell Stovall, yang disebutnya sebagai generasi baru pembuat aksi dengan gaya segar dan inovatif.

Dengan Havoc, Gareth Evans membuktikan bahwa ia masih menjadi salah satu sutradara aksi paling visioner saat ini, ia mampu menggabungkan kekerasan bergaya klasik, emosi mendalam, dan teknik penyutradaraan yang matang.

M
M Ihsan
Penulis
  • Tag:
  • Film
  • Havoc
  • Tom Hardy

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE