Dorong Pasar Rakyat, Tutup Semua Minimarket di Desa
JAKARTA - Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa dan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat yang dihubung terpisah, Selasa (24/6), sependapat bahwa anggaran Rp2 miliar untuk satu unit Koperasi Merah Putih (KMP) bisa mubazir jika tak dikelola dengan baik.
Menurut Santosa, upaya pemerataan ekonomi ke perdesaan yang dilakukan pemerintah melalui program KMP tidak efektif lantaran kurang perhitungan yang cermat dan terkesan tumpang tindih dengan program yang sudah ada seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Koperasi Unit Desa (KUD).
Ia menilai dengan alokasi anggaran Rp2 miliar per satu unit KMP bisa sia-sia jika tidak berjalan dengan baik. "Jika dialokasikan untuk 100 koperasi saja, total anggarannya sudah Rp200 miliar. Ini sudah cukup membangun industri sekunder yang memberikan nilai tambah pada hasil pertanian dari desa dan pasar rakyat," katanya.
Awan Santosa mengatakan pemerintah tidak bisa mengalahkan penetrasi minimarket ke pelosok desa jika hanya mengandalkan koperasi desa tanpa membangun industri sekunder.
Menimpali pandangan Santosa, Achmad malah melihat menjamurnya minimarket telah membunuh pasar rakyat dan merusak ekonomi lokal. "Tutup semua minimarket di desa. Dorong pasar rakyat dan distribusi lokal. Ini soal strategi pembangunan yang berpihak," katanya.
Koperas Multi Pihak
Menurut Santosa, yang dibutuhkan adalah pengorganisasian ekonomi rakyat baik petani, nelayan, pedagang pasar, pengecer, dan buruh/konsumen melalui koperasi multi pihak yang bergerak di sektor budidaya, industri pengolahan, keuangan, dan pemasaran.
"Perlu konsolidasi ekonomi rakyat melalui integrasi vertikal dalam koperasi multi pihak yang berjejaring dengan pemerintah, perguruan tinggi, lembaga keuangan, asosiasi, komunitas, dan media," paparnya.
Ia menilai skema koperasi desa yang disiapkan pemerintah belum mampu mengatasi masalah tersebut sehingga perlu diubah atau diarahkan ke bentuk yang dianggap bisa lebih kompetitif.
Koperasi desa, katanya, perlu diarahkan untuk membangun konsolidasi dan integrasi vertikal tersebut, tidak boleh bergerak parsial dan terbatas teritori sehingga tidak dapat mencapai skala ekonomi. "Dengan cara itu kekuatan ekonomi desa baru bisa mengalahkan penetrasi minimarket yang semakin cepat ke wilayah yang mengendalikan ekonomi desa," katanya.
Pertumbuhan Palsu
Achmad Nur Hidayat mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bertahan di angka 4,9 persen pada kuartal I-2025 belum mencerminkan kesejahteraan riil masyarakat.
Ia malah menyebut pertumbuhan tersebut sebagai "pertumbuhan palsu" yang justru memperlebar ketimpangan sosial dan melemahkan ekonomi rakyat.
"Perekonomian kita tumbuh, tapi rakyat tertinggal di belakang. Ini kegagalan struktural, karena kita tidak sungguh-sungguh membangun ekonomi desa," kata Achmad.
Ia menilai, pemerintah terlalu banyak membentuk institusi keuangan mikro di desa tanpa membangun industri yang memberi nilai tambah. "KMP yang disuntik Rp2 miliar per unit akan mubazir karena tidak ada hilirisasi. Mending kumpulkan Rp200 miliar, bangun industri sekunder di desa. Itu baru ada dampaknya," tegasnya.
Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor pertanian dan jasa menjadi penopang utama pertumbuhan saat ini, sementara industri manufaktur terus melambat. Bahkan, lebih dari 50 persen pekerjaan baru diciptakan di sektor informal dengan produktivitas rendah.
"Bayangkan, 60 persen pekerja Indonesia ada di sektor informal. Itu artinya kita gagal membangun ekosistem kerja yang aman dan produktif. Ini tidak bisa dibiarkan," lanjut Achmad.
Yang lebih mengkhawatirkan, katanya, konsumsi rumah tangga kelas menengah yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional justru stagnan. Dalam lima tahun terakhir, konsumsi riil kelas menengah hanya tumbuh 1,3 persen per tahun. Di sisi lain, kelompok termiskin dan terkaya justru tumbuh lebih dari 2-3 persen.
"Kita terlalu fokus ke bansos untuk rakyat miskin dan investasi untuk konglomerat. Kelas menengah justru dilupakan, padahal mereka adalah penyangga ekonomi nasional. Kalau ini terus berlanjut, mimpi Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi utopia," pungkas Achmad.
Dorong Pasar Rakyat, Tutup Semua Minimarket di Desa
0 Comments
- Konklaf Dimulai Hari Ini, Siapa Pengganti Paus Fransiskus?
- 135 Kardinal akan Sidang Tertutup Memilih Penerus Paus Fransiskus
- Waspada! Rendahnya Penerimaan Pajak Menjadi Alarm Serius
- AS Ingin Damai, Moskow Berterima Kasih Kepada Donald Trump
- Kurs Rupiah Kian Tertekan jika Konflik Iran-Israel Berlanjut
- Produksi Beras Meningkat, Harga di Tingkat Petani Jangan Sampai Anjlok
- Trump: Putin Tak ingin Hentikan Perang, Dia hanya Permainkan Saya
- Trump Bergeming, namun Siap Negosiasi dengan Negara Lain
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!