Penantian Panjang Telah Usai! Crystal Palace Resmi Mengangkat Trofi Perdana, Kalahkan Man City 1-0 di Final

JAKARTA, GENVOICE.ID - Stadion Wembley jadi saksi sejarah baru bagi Crystal Palace. Setelah menanti selama lebih dari satu abad, klub asal London Selatan itu akhirnya mencicipi manisnya trofi mayor pertama usai menaklukkan Manchester City dengan skor tipis 1-0 di partai final Piala FA.

Begitu peluit panjang berbunyi, para pemain Palace langsung berjatuhan ke rumput, bukan karena cedera, melainkan karena tak mampu membendung emosi. Mateta tergeletak tertelungkup, Will Hughes membentangkan tangan di langit, dan di belakang mereka, para pendukung Palace memekik dalam suka cita yang nyaris tak bisa dipercaya.

Penantian Panjang Telah Usai! Crystal Palace Resmi Mengangkat Trofi Perdana, Kalahkan Man City 1-0 di Final
- (Dok. CNN).

Kemenangan ini bukan sekadar hasil akhir. Ini adalah klimaks dari perjuangan panjang sebuah klub yang selama ini hanya jadi pelengkap di papan tengah, yang stadionnya dari seng tua dan teriakan supporternya lebih keras dari speaker stadion. Palace akhirnya bangkit dan menorehkan sejarah dengan tinta emas.

Gol tunggal Eberechi Eze tercipta di menit ke-16 lewat skema serangan yang rapi dan tajam. Jean-Philippe Mateta jadi arsitek utama, dengan gerakan putarannya yang melepas bola ke Daniel Muñoz di sisi kiri. Muñoz langsung mengirimkan umpan mendatar ke kotak penalti yang disambut Eze dengan penyelesaian instan nan anggun. Momen itu seperti adegan puncak dalam film "Goal!"-manis, klimaks, dan menggetarkan.

Namun, kemenangan Palace juga diwarnai kontroversi. Menit ke-24, kiper Dean Henderson tampak jelas melakukan handball di luar kotak penalti saat mencoba menghentikan Erling Haaland. Wasit tak melihat, dan lebih mengejutkan lagi, VAR pun tak menganggapnya sebagai peluang emas. Padahal, bola di depan Haaland-penyerang paling mematikan di dunia-adalah definisi dari ancaman nyata.

Henderson, yang selamat dari hukuman, kemudian menjadi pahlawan. Ia menggagalkan penalti Omar Marmoush di babak kedua-sebuah momen yang mengunci kemenangan Palace dan memperpanjang frustrasi City.

Sorotan juga tertuju pada pelatih Oliver Glasner. Dengan pakaian serba hitam dan sepatu putih mencolok, ia berdiri di tepi lapangan seperti sutradara teatrikal yang menonton dramanya sendiri di babak terakhir. Selama 10 menit penutup, ekspresinya berganti-ganti antara panik dan percaya diri.

Pertandingan ini menjadi refleksi dari dua tim dengan semangat berbeda: Palace tampil seolah inilah kesempatan terakhir mereka untuk menulis sejarah, sementara City terlihat seperti sedang mencoba menambal musim yang tidak sempurna. Meski menguasai banyak statistik, pasukan Pep Guardiola tak benar-benar mengancam hingga menit-menit akhir.

Di tribun, atmosfer yang diciptakan pendukung Palace seperti versi raksasa dari Selhurst Park. Asap merah mengepul, lagu-lagu dukungan bergema, dan air mata haru mengalir dari wajah-wajah yang menyaksikan impian kolektif mereka akhirnya menjadi kenyataan.

Pemain muda seperti Adam Wharton tampil dewasa, mengatur ritme dengan kecerdasan. Eze jadi pembeda, menunjukkan kualitas seorang pemain yang tak hanya lihai menggocek tapi juga punya akurasi tinggi. Mateta tampil penuh nyali dan tekad, sementara Hughes masuk di akhir laga untuk membantu mengunci lini tengah.

Kemenangan ini bukan hanya soal skor atau trofi. Ini adalah selebrasi atas kerja keras akademi, kebijakan transfer yang cerdas, dan komunitas London Selatan yang tak pernah berhenti bermimpi. Ini juga jadi pelajaran bagi klub-klub Premier League lain: bahwa kejayaan bisa datang lewat proses panjang, bukan sekadar uang.

Crystal Palace kini tak lagi cuma cerita pinggiran. Mereka sudah menjadi bagian dari sejarah Piala FA-dan mungkin, ini baru permulaan.

D
Daniel R
Penulis
  • Tag:
  • Sport
  • Sepak Bola
  • PIALA FA

0 Comments

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Kirim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE