Pelepasan Terakhir Paus Fransiskus, Ini Makna di Balik Pakaian Duka Ribuan Peziarah
JAKARTA, GENVOICE.ID - Suasana haru membanjiri Lapangan Santo Petrus, Vatikan, pada Sabtu, (26/4) kemarin, saat dunia memberikan penghormatan terakhir kepada Paus Fransiskus.
Lebih dari 250 ribu peziarah, pemimpin dunia, dan tamu kehormatan berkumpul untuk menghadiri misa pemakaman sang Paus, yang digelar terbuka di bawah langit biru cerah.
Selama tiga hari sebelumnya, jenazah Paus Fransiskus disemayamkan di Basilika Santo Petrus, memberi kesempatan bagi umat untuk berpamitan dengan sang pemimpin gereja yang wafat tepat di Hari Paskah.
Misa yang berlangsung selama dua jam lebih itu dipenuhi momen penuh khidmat. Para kardinal berjubah merah dengan mitra putih tinggi mereka, para imam dan diakon dari berbagai penjuru dunia, semua ikut menyemarakkan suasana lewat kidung Latin dan nyanyian Gregorian yang bergema sampai ke sudut-sudut piazza. Tepuk tangan mengharu biru pecah saat peti jenazah Fransiskus dibawa masuk untuk terakhir kalinya melewati pintu Basilika Santo Petrus.
Dalam homilinya, Kardinal Giovanni Battista Re mengenang Paus Fransiskus sebagai "Paus untuk semua orang, dengan hati terbuka untuk siapa saja." Ia menyebut bagaimana Fransiskus selalu hadir dalam gelombang keresahan, penderitaan, dan harapan dunia modern, terutama lewat sikapnya yang tegas menolak perang dan membela nasib para pengungsi.
"Di tengah perang-perang mengerikan yang terus terjadi, Paus Fransiskus tak henti-hentinya menyerukan perdamaian, mengajak dunia untuk mencari jalan damai melalui dialog," ujar Re, seperti dikutip dariVoguepada Sabtu, (26/4).
Pemandangan para hadirin hari itu pun menjadi kisah tersendiri. Hitam, merah, dan putih mewarnai Lapangan Santo Petrus. Para delegasi negara datang mengenakan pakaian duka hitam yang anggun dan sederhana, sementara para imam dengan jubah putih atau ungu tergantung pangkatnya.
Dalam dunia fesyen Vatikan, bahkan pakaian berbicara banyak. Paus Fransiskus dikenal dengan pilihan busana liturginya yang sederhana, menegaskan kepribadian rendah hati yang ia bawa sepanjang masa kepausannya. Jenazahnya dibalut mitra putih-emas dan jubah sederhana rancangan Atelier Lavs, terinspirasi dari fresco-fresco era Giotto di Assisi-sebuah penghormatan halus terhadap Santo Fransiskus yang namanya ia ambil.
Tak hanya umat biasa, para pemimpin dunia pun menjaga etiket busana. Ada aturan ketat dari Vatikan, yakni jas hitam, dasi panjang hitam, sepatu dan kaus kaki hitam untuk pria; gaun panjang hitam, mantilla (kerudung renda hitam) untuk wanita, lengkap dengan sarung tangan jika diinginkan. Aksesori? Hanya seuntai mutiara yang diperbolehkan.
Donald Trump datang mengenakan setelan biru navy, begitu juga Joe Biden, sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tampil lebih santai tanpa dasi dan mengenakan jaket bergaya utilitas. Para pemimpin lain seperti Keir Starmer dan Emmanuel Macron tetap berpegang pada setelan hitam formal.
Di sisi perempuan, Melania Trump tampil klasik dengan blazer panjang hitam, rok, mantilla bordir hitam, dan sarung tangan transparan. Jill Biden memilih setelan Schiaparelli hitam polos dengan kancing emas, lengkap dengan veil hitam pekat. Ratu Mathilde dari Belgia, Ratu Letizia dari Spanyol, hingga Putri Charlene dari Monako juga tampil anggun dengan mantilla masing-masing, mengikuti tradisi Vatikan yang sudah berabad-abad.
Setelah misa selesai, lautan manusia masih memenuhi jalanan sekitar Sungai Tiber, berharap bisa mengintip konvoi yang membawa jenazah Paus menuju Basilika Santa Maria Maggiore untuk dimakamkan. Masa berkabung resmi selama sembilan hari kini dimulai, sebuah masa untuk merenungi warisan Paus Fransiskus yang penuh cinta, kepedulian, dan kerendahan hati.
Satu babak telah berakhir, tapi semangat Paus Fransiskus akan terus bergema di hati dunia.