Terlihat Peduli, Tapi Bisa Berbahaya, Ini Fakta Mengejutkan di Balik 'Tiger Parenting' yang Wajib Diketahui Orang Tua
JAKARTA, GENVOICE.ID - Semua orang tua di dunia tentu menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Baik melalui pendekatan lembut, gaya pengasuhan helikopter, maupun aturan yang ketat, tujuan akhirnya tetap sama: mencetak anak yang cerdas, berprestasi, dan sukses dalam hidup.
Namun, benarkah semua cara itu selalu membawa hasil yang positif?
Dilansir dari Antara, salah satu gaya yang kini menuai pro dan kontra adalah pola asuh harimau (tiger parenting), yaitu pendekatan yang dikenal sangat ketat dan penuh tuntutan tinggi terhadap anak.
Gaya ini mulai populer setelah terbitnya buku kontroversial Battle Hymn of the Tiger Mother karya Amy Chua. Dalam buku itu, digambarkan bagaimana anak tidak diizinkan menginap di rumah teman, menonton TV, atau mendapat nilai selain yang terbaik. Prestasi akademik jadi tolok ukur utama, sementara aspek emosional dan sosial sering kali diabaikan.
Menurut laporan Times of India, pola asuh harimau bisa berdampak buruk terhadap kesehatan mental anak. Anak-anak yang tumbuh dalam tekanan seperti ini cenderung mengalami kecemasan, depresi, dan harga diri yang rendah. Ketika orang tua menggunakan rasa malu atau bersalah sebagai hukuman karena anak gagal memenuhi ekspektasi, hal itu bisa melukai kepercayaan diri anak secara permanen.
Sebuah studi pada 2018 di Singapura bahkan menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan standar tinggi dan kritik konstan memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan emosional dibandingkan anak-anak lain. Tak hanya itu, mereka juga rentan mengembangkan perfeksionisme yang tidak sehat, merasa takut gagal, dan kehilangan motivasi internal.
Pola asuh ini juga sering membuat anak kehilangan ruang untuk bermain, berkreasi, dan bersosialisasi. Aktivitas yang penting untuk tumbuh kembang emosional justru digantikan dengan jadwal belajar yang padat. Akibatnya, anak bisa mengalami kesulitan mengambil keputusan dan kurang memiliki kendali atas pilihan hidupnya sendiri.
Banyak orang tua dengan pola ini sebenarnya berasal dari latar belakang penuh perjuangan, seperti kemiskinan atau diskriminasi, dan merasa bahwa mendorong anak untuk sukses adalah satu-satunya cara melindungi mereka. Namun, tekanan berlebihan justru dapat menciptakan jarak emosional antara orang tua dan anak. Anak bisa merasa bahwa cinta dan penerimaan dari orang tua bergantung sepenuhnya pada prestasi, bukan siapa mereka sebenarnya.
Meski niat awalnya baik, pola asuh harimau bisa menjadi pedang bermata dua. Saat anak merasa bahwa ia hanya dicintai saat berhasil, ia akan tumbuh dengan beban emosional yang sulit disembuhkan.