Pembangunan Industri Dasar Masih Terkendala Skala Usaha

Genvoice.id | 25 Mar 2025

JAKARTA - Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan masalah efisiensi menjadi problem besar dalam pembangunan industri dasar. "Skala usahanya belum mendukung untuk menekan biaya," katanya, Senin (24/3).

Padahal, ia menambahkan, pasar domestik memiliki potensi permitaan yang sangat besar sehingga bisa membangun industri dasar dalam skala besar agar biaya menjadi rendah. Apalagi dalam mengelola bisnis, terutama BUMN masih menghadapi tantangan terkait profesionalisme yang kerap dikalahkan kepentingan lain.

Menurut dia, kebijakan hilirisasi baja yang didorong pemerintah sangat penting bagi pembangunan infrastruktur di Tanah Air. "Ide hilirisasi membangun industri dasar memang sangat penting untuk dikembangkan karena berkaitan banyak input yang selama ini harus diimpor.

Sejauh ini, katanya, industri dasar yang sudah dibangun di dalam negeri kalah bersaing dalam harga dengan produk impor. "Proyek pemerintah saja masih banyak yang menggunakan produk impor, termasuk penggunaan baja dalam pembangunan infrastruktur," tegas Suhartoko.

Secara terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan, kebijakan hilirisasi baja yang didorong pemerintah sangat urgen bagi pembangunan infrastruktur di Tanah Air.

"Tentu karena baja itu termasuk industri dasar maka sangat urgen untuk didorong mengenai hilirisasi baja, terlebih lagi Indonesia masih mengimpor baja untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya," kata Eko.

Hilirisasi baja menjadi semakin penting untuk digenjot mengingat Indonesia saat ini masih terus melakukan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah.

"Tentu kalau bisa dihilirisasi maka nilai tambah baja produksi Indonesia akan semakin tinggi, baik untuk memenuhi kebutuhan domestik sendiri maupun ketika Indonesia mampu melakukan ekspor baja," kata Eko.

Tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur, hilirisasi baja juga dapat membantu peningkatan produksi peralatan rumah tangga maupun konstruksi, kendaraan, dan sebagainya sehingga nilai tambah baja produksi dalam negeri menjadi lebih tinggi.

Ketua Komisi VI DPR Eko Hendro Purnomo menyatakan bahwa Indonesia harus dapat menguatkan proteksinya. Komisi VI DPR pun mendukung restrukturisasi dan transformasi Krakatau Steel untuk peningkatan kinerja dan berkontribusi dalam kemajuan industri baja nasional.

Sebagai perusahaan BUMN dan produsen baja terintegrasi di Indonesia, Krakatau Steel harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

"Dalam 10 tahun ke depan, negara kita sedang membangun, kebutuhan bajanya sangat banyak, seharusnya ini menjadi peluang bagi industri baja nasional.

Dukungan dari pemerintah dan terutama Himbara juga harus berperan dalam menyokong Krakatau Steel untuk bisa bangkit kembali. Industri baja nasional harus mendapatkan perlindungan, bukan hanya business to business, tapi juga government to government," kata Eko.

Menurut data Badan Pusat Statistik, impor besi dan baja cenderung meningkat sejak 2020 di mana total impor dari berbagai negara mencapai 11,4 juta ton, di tahun 2021 meningkat menjadi total 13,0 juta ton, kemudian meningkat menjadi 14,1 juta ton pada 2022 dan sedikit menurun pada 2023 menjadi sebesar 13,8 juta ton.

Kurangi Impor

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyampaikan bahwa hilirisasi baja dapat memperkuat kemandirian industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor.

"Hilirisasi baja yang mencakup pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk baja di dalam negeri, dapat memperkuat kemandirian industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor," kata Anggawira.

Anggawira menyampaikan bahwa industri baja memiliki peran krusial dalam pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor strategis lainnya di Indonesia.

Salah satu sektor industri yang ia soroti adalah sektor konstruksi. Anggawira memperkirakan dalam membangun sebuah perumahan saja, Indonesia membutuhkan sekitar 30-40 persen baja.