Hanya Ciptakan Ketimpangan, Prabowo Tolak Kapitalisme Murni

Genvoice.id | 23 Jun 2025

JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto dengan tegas menolak model ekonomi kapitalis maupun sosialis, dimana sosialisme murni terbukti gagal karena menciptakan kebergantungan, sementara kapitalisme murni menghasilkan ketimpangan.

"Sosialisme murni, seperti yang telah kita lihat, tidak berhasil. Itu utopia. Sosialisme murni, kita melihat banyak peluang dan banyak kasus, orang tidak mau bekerja," jelas Prabowo saat berpidato di forum The 28th St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025), Moskow, pekan lalu.

Sebaliknya kapitalisme murni, kata Praboro, hanya menghasilkan ketimpangan dengan menciptakan hanya sebagian kecil orang yang menikmati hasil kekayaan. " Saya memilih jalan tengah untuk menggabungkan sisi baik dari keduanya."

Prabowo menekankan pentingnya inovasi dan inisiatif dari sistem kapitalisme. Namun, ia menilai negara tetap perlu intervensi agar kelompok miskin tidak tertinggal.

"Kita ingin menggunakan kreativitas kapitalisme, inovasi, inisiatif. Ya, kita membutuhkan itu," katanya.

"Tetapi kita membutuhkan intervensi pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, mengatasi kelaparan, untuk campur tangan dan melindungi yang lemah," tambahnya.

Menurut Prabowo, kemiskinan di Indonesia sulit diberantas karena kekayaan hanya dikuasai segelintir elite yang terdiri dari pengusaha besar, pejabat, dan aktor politik. Kolusi di antara mereka membuat masyarakat miskin terjebak dan sulit naik ke kelas menengah.

"Ada bahaya di negara-negara berkembang seperti Indonesia dari apa yang kita anggap sebagai bahaya penguasaan negara," kata Prabowo.

Ia mengatakan telah terjadi kolusi antara pemodal besar dengan pejabat pemerintah dan elite politik yang pada akhirnya kolusi antara kelompok itu tidak membuahkan hasil pengentasan kemiskinan dan perluasan kelas menengah.

Segelintir Elit

Menanggapi pernyataan Presiden Prabowo, peneliti dari Mubyarto Institute, Awan Santosa menilai corak kemiskinan di Indonesia adalah struktural. Hal itu terlihat dimana rakyat miskin di tengah kelimpahan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dikuasai oleh segelintir elit pemodal yang berkolusi dengan penguasa.

"Struktur oligarkis ini menghambat transformasi struktural ekonomi rakyat, sehingga kemiskinan menjadi tidak mudah untuk diatasi," jelas Awan.

Awan mengatakan, Pemerintah harus melanjutkan agenda reformasi struktural sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, di antaranya melalui implementasi reforma agraria dan revitalisasi koperasi.

Hal itu karena banyak rumah tangga yang rentan miskin ketika terjadi gejolak atau krisis ekonomi sehingga kemiskinan akan mengalami peningkatan.

Bantuan Sosial (Bansos) yang selama ini menjadi instrumen Pemerintah jelasnya hanya bersifat temporer untuk menahan kemerosotan daya beli lebih dalam lagi, namun tidak relevan untuk menanggulangi kemiskinan struktural.

"Pemerintah harus mengedepankan demokrasi ekonomi yang mendorong redistribusi ekonomi baik sumber daya maupun pendapatan," tegasnya.

Distribusi Keadilan

Sebelumnya, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan, pengukuran kemiskinan seharusnya didasari oleh konsep distribusi keadilan bukan sekedar angka-angka formal yang mencatat garis kemiskinan.

"Pengukuran yang selama ini dilakukan hanya untuk mengetahui garis kemiskinan, belum memasukkan faktor kesenjangan sosial yang ada di tengah masyarakat. Seharusnya metode pengukuran ditujukan untuk memperbaiki keadaan, dengan mempertimbangkan distribusi keadilan ekonomi, dan ini harus menyertakan tingkat kesenjangan yang terjadi di masyarakat," kata Bagong.

Bank Dunia sendiri telah mengevaluasi metode perhitungan kemiskinan global pada Juni 2025. Standar baru menggunakan purchasing power parities (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017.

Perubahan itu berdampak besar terhadap data kemiskinan Indonesia. Berdasarkan dokumen "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)", jumlah penduduk miskin melonjak.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan 2024 mencapai 285,1 juta jiwa.

Dari jumlah tersebut, jika menggunakan metode PPP 2021, jumlah penduduk miskin mencapai 68,25 persen atau sekitar 194,67 juta orang.