Kepastian Hukum Jadi Faktor Fundamental Gaet Investor
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, Wakil Ketua Komisi Tetap I Kajian Ekonomi Global Strategis, Kadin Indonesia, Dinna Prapto Raharja, dan Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko sependapat bahwa faktor kepastian hukum menjadi kata kunci untuk menarik investor ke Indonesia.
Berbicara terpisah, Kamis (19/6), ketiganya mengamini bahwa kepastian hukum merupakan faktor fundamental yang menentukan keberanian pelaku usaha dalam berinvestasi dan menjaga kelangsungan bisnis di tengah perlambatan ekonomi.
Menurut Esther Sri Astuti, kepastian hukum menjadi kata kunci untuk menjaring investor lantaran melihat kebiasaan di Indonesia yang setiap ganti pimpinan, selalu diikuti pergantian aturan.
Ia menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan menghambat perbaikan peringkat kemudahan berusaha atau EoDB (Ease of Doing Business) antara lain kompleksitas regulasi, proses perizinan dan birokrasi yang rumit serta menghabiskan banyak waktu. "Selain itu, juga faktor ketidakpastian hukum, inkonsistensi kebijakan dan regulasi, serta penegakan hukum yang lemah," paparnya.
Faktor lain, katanya, berupa keterbatasan infrastruktur seperti jaringan transportasi yang buruk dan pasokan listrik yang tidak stabil, dapat menjadi tantangan tambahan bagi pelaku usaha. "Regulasi yang kompleks dan berubah-ubah sesuai dengan kepentingan golongan, bukan kepentingan publik merupakan faktor yang menghambat investasi," kata Esther.
Kalkulasi Cermat
Dinna Prapto Raharja mengatakan tanpa kepastian hukum, pengusaha akan semakin berhati-hati untuk menanamkan modal. "Dunia usaha bergerak berdasarkan kalkulasi yang cermat, tak hanya terkait faktor internal perusahaan, juga ekosistem berbisnis secara keseluruhan," katanya.
Ia meyakini ketidakpastian hukum dalam bentuk perubahan aturan mendadak atau sengketa lahan dapat mengguncang kepercayaan investor.
Meskipun sektor usaha di Indonesia tetap mencoba optimistis, ketidakpastian hukum menjadi penghambat utama yang berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Pada kuartal I-2025 jelasnya, meski ada momentum konsumsi seperti Ramadhan hingga Lebaran, tetap tidak bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Ekonomi pada periode tersebut hanya tumbuh 4,87 persen lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,11 persen.
"Kalau ditelisik, pertumbuhan 4,87 persen, itu adalah angka rata-rata. Ada sektor yang tumbuh positif seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan, tapi di lapangan pun mulai melambat," katanya.
Di sisi lain, manufaktur, pengolahan, konstruksi, transportasi, dan perhotelan justru melemah dengan sangat cepat. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk menciptakan kepastian hukum guna mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
Menurutnya, dua hal mendesak yang perlu dilakukan adalah meninjau ulang efisiensi anggaran, agar ekonomi domestik kembali bergerak, dan melibatkan pelaku usaha dalam penyaluran anggaran APBN, terutama dalam menentukan sektor prioritas.
"Kalau pelaku usaha diajak diskusi dan didengar, maka akan tumbuh kepercayaan. Dari situ kepastian hukum lebih mungkin terjadi, bukan sekadar retorika," kata Dinna yang juga Executive Director Synergy Policies.
Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan, dalam perencanaan bisnis perusahaan kepastian sangat diharapkan, agar perencanaan bisnis dapat mencapai tujuan perusahaan.
"Ketidakpastian termasuk ketidakpastian hukum dikalkulasikan ke dalam biaya cadangan risiko. Semakin tinggi ketidakpastian, semakin tinggi biaya dan berdampak terhadap harga output-nya," kata Suhartoko.
Kondisi itu, katanya, juga mengurangi kemampuan perusahaan untuk berkompetisi dengan perusahaan lain.