PSG ke Final Liga Champions, Tapi Sepak Bola Prancis Justru di Ambang Krisis, Mengapa Bisa Begitu?
JAKARTA, GENVOICE.ID - Paris Saint-Germain (PSG) sukses melangkah ke final Liga Champions musim ini dan menutup Liga Prancis dengan gelar juara keempat secara beruntun. Mereka juga masih berpeluang meraih trofi tambahan lewat final Piala Prancis dan final Liga Champions kontra Inter Milan pada 31 Mei mendatang.
Namun di balik euforia dan dominasi PSG, sepak bola Prancis justru menunjukkan gejala krisis struktural yang semakin mengkhawatirkan. Ketimpangan prestasi dan keuangan antar klub makin melebar, memperlihatkan sisi gelap dari keberhasilan satu-satunya wakil elite negeri tersebut di kancah Eropa.
Sejak Marseille menjadi juara Liga Champions pada 1993, tak satu pun klub Prancis mampu menyamai prestasi serupa. Sementara PSG terus melesat dengan dukungan finansial kuat dari Qatar Sports Investments, klub-klub lain justru terseok-seok menjaga eksistensi mereka.
Pelatih Nice, Franck Haise, bahkan secara terbuka mengaku mendukung PSG di final, meskipun bukan penggemar klub tersebut.
"Saya pelatih Nice, bukan Paris. Tapi saya orang Prancis, dan saya ingin melihat Paris menang. Seperti dulu saat Marseille juara 1993," ujar Haise, dikutip dari AFP, Minggu (18/5).
Pernyataan Haise mencerminkan ironi besar: para rival domestik PSG kini tak lagi menjadi pesaing yang sejajar, melainkan justru menggantungkan harapan pada PSG demi menyelamatkan citra sepak bola Prancis di mata dunia.
Krisis finansial yang menimpa Olympique Lyon menjadi bukti konkret dari kegagalan tata kelola liga. Klub yang pernah tujuh kali beruntun juara Ligue 1 itu kini menanggung utang mencapai 540 juta euro (sekitar Rp9,95 triliun).
Grup pemilik Lyon, Eagle Football yang dikendalikan oleh pengusaha asal AS, John Textor, menghadapi tekanan berat. Lyon bahkan terancam degradasi administratif jika tidak segera menyelesaikan persoalan keuangan mereka. UEFA juga dikabarkan siap menjatuhkan sanksi larangan tampil di kompetisi Eropa, terlepas dari posisi Lyon di klasemen akhir musim.
Kondisi ini kian diperparah oleh kegagalan Liga Prancis menjual hak siar dengan nilai yang sesuai ekspektasi. Alih-alih mendapat 1 miliar euro per musim seperti yang ditargetkan, kontrak darurat dengan DAZN hanya menghasilkan 400 juta euro per tahun. Bahkan, kerja sama tersebut kini dikabarkan akan diputus lebih cepat.
Sebagai solusi darurat, LFP (operator Liga Prancis) berencana membentuk saluran TV sendiri, namun belum ada kejelasan tentang skema pendapatan dan bagaimana hak siar itu akan dibagikan ke klub-klub peserta.
Perbandingan dengan Premier League membuat situasi Ligue 1 makin suram. Liga Inggris baru saja menyepakati kontrak hak siar domestik senilai 2,02 miliar euro (Rp37,2 triliun) per musim selama empat tahun ke depan-angka yang lebih dari lima kali lipat nilai hak siar Liga Prancis.
Ketidakpastian finansial ini membuat klub-klub kecil di Prancis semakin sulit membangun skuad kompetitif atau bahkan sekadar menjaga kelangsungan operasional mereka.
Meski PSG berpeluang mencetak sejarah di Liga Champions, masa depan sepak bola Prancis sebagai sebuah ekosistem kompetitif kini berada di titik kritis.