Penelitian Ungkap Kaitan Antara Peradangan Otak, Virus Herpes, dan Risiko Demensia

Genvoice.id | 19 Mar 2025

JAKARTA, GENVOICE.ID - Dalam upaya memahami penyebab penurunan kognitif dan demensia, para peneliti semakin menyoroti peran peradangan otak atau neuroinflamasi, melalui studi terbaru yang menunjukkan bahwa infeksi virus, khususnya virus herpes simplex tipe 1 (HSV-1) yang menyebabkan luka dingin, mungkin berperan dalam pemicu Alzheimer, bentuk demensia paling umum.

Dilansir dari Medical News Today, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cell Reports pada Januari 2025 menemukan keberadaan protein terkait HSV-1 dalam sampel otak manusia yang telah meninggal. Or Shemesh, PhD, dari University of Pittsburgh, yang merupakan penulis senior penelitian ini, menyatakan bahwa temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa virus herpes berkontribusi terhadap penurunan kognitif.

Studi lain yang diterbitkan dalam mBio pada Februari 2025 menggunakan model hewan untuk melacak bagaimana HSV-1 dapat memasuki otak dan menyebabkan gangguan kognitif. Dalam penelitian ini, tikus yang terpapar virus melalui hidung mengalami gangguan kognitif jangka panjang serta kecemasan.

Menurut Deepak Shukla, PhD, penulis utama studi ini dari University of Illinois College of Medicine, mekanisme serupa mungkin terjadi pada manusia. Jika virus seperti HSV-1 benar-benar meningkatkan risiko penurunan kognitif, maka langkah pencegahan seperti vaksinasi, obat antivirus, dan antibiotik dapat berperan dalam melindungi kesehatan otak.

Temuan tersebut sejalan dengan hasil tinjauan studi yang diterbitkan dalam Alzheimer's and Dementia: Translational Research & Clinical Interventions pada Januari 2025. Analisis data dari 14 penelitian yang melibatkan lebih dari 130 juta orang menunjukkan bahwa penggunaan obat antimikroba, vaksin, dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dikaitkan dengan penurunan risiko demensia.

Ben Underwood, MA, PhD, dari University of Cambridge, yang turut menulis tinjauan ini, menegaskan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menemukan obat yang dapat memperlambat atau bahkan mencegah perkembangan demensia. Ia menekankan pentingnya menguji obat yang telah berlisensi untuk kondisi lain agar dapat segera dimanfaatkan dalam perawatan demensia tanpa harus menunggu proses pengembangan obat baru yang memakan waktu lama.

Namun, Ilianna Lourida, PhD, dari University of Exeter, mengingatkan bahwa masyarakat sebaiknya tidak mengubah penggunaan obat mereka tanpa berkonsultasi dengan dokter. Semua obat memiliki manfaat dan risiko, sehingga penggunaannya harus dilakukan di bawah pengawasan medis.

Sebuah penelitian lain yang diterbitkan dalam Journal of the American Geriatrics Society pada Maret 2025 menemukan bahwa penggunaan jangka panjang NSAID, seperti ibuprofen dan aspirin, selama lebih dari dua tahun, dikaitkan dengan penurunan risiko demensia.

Menariknya, studi ini juga mengungkap bahwa efek perlindungan NSAID terhadap demensia tidak berlaku bagi individu yang memiliki predisposisi genetik terhadap penyakit ini. Bahkan, obat seperti aspirin yang tidak memiliki efek penurunan beta-amiloid di otak ternyata memberikan manfaat lebih besar dalam mengurangi risiko demensia.

Vernon Williams, MD, seorang neurologis olahraga dari Cedars-Sinai Orthopaedics di Los Angeles, menyoroti bahwa hasil ini menunjukkan kemungkinan adanya mekanisme lain selain penurunan beta-amiloid yang berperan dalam perlindungan otak terhadap demensia.

Meskipun penelitian terus menunjukkan adanya kaitan antara peradangan otak, infeksi virus, dan demensia, para ahli tetap menyarankan agar masyarakat tidak sembarangan mengonsumsi obat-obatan tertentu tanpa rekomendasi dokter. Dengan semakin banyaknya bukti yang menghubungkan virus dengan penyakit neurodegeneratif, strategi pencegahan seperti vaksinasi dan pengobatan antivirus mungkin menjadi kunci dalam menjaga kesehatan otak di masa depan.