Perekonomian Dunia Cenderung Turun pada Kuartal II-2025

Genvoice.id | 17 Jun 2025

JAKARTA- Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko memperkirakan perekonomian dunia bakal menurun pada kuartal kedua tahun 2025 seiring mulai meredanya potensi perang tarif antara AS dengan mitra dagangnya. "Melunaknya AS menunjukkan tarif akan menurun," papar Suhartoko, Senin (16/6).

Ia mengatakan kondisi ekonomi AS pada kuartal 1 2025 secara tahunan (year on year) mengalami kontraksi sebesar 0,3 persen, sedangkan inflasi pada bulan Mei mencapai 2,4 persen (year on year).

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS bulan ini akan melambat karena berbagai kondisi termasuk dampak dari perang tarif yang berlangsung.

"Bisa saja ada perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya, karena dampak kebijakan tarif Trump ini masih belum kelihatan ujungnya karena meningkatnya ketidakpastian kebijakan bisa menyebabkan atau melemahkan investasi swasta. Perlambatan juga bisa dipicu melemahnya permintaan domestik. Jadi dua hal ini mungkin yang akan memicu berkurangnya belanja konsumen dan investasi," katanya.

Tekanan inflasi

Para pelaku pasar menantikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dalam Federal Open Market Committee (FOMC) Juni 2025 dengan ekspektasi Fed Funds Rate (FFR) tetap di kisaran 4,25-4,50 persen.

Head of Macroeconomic and Financial Market Research PermataBank Faisal Rachman mengatakan tekanan perang dagang pada ekonomi AS kemungkinan akan berkurang sejalan dengan perkembangan positif terkait hasil negosiasi dagang antara AS dan mitra dagangnya.

Dengan demikian, risiko resesi di AS akan berkurang yang pada ujungnya menurunkan kebutuhan untuk memotong FFR secara agresif meski tekanan inflasi di AS juga ikut berkurang.

"Market melihat The Fed masih akan mempertahankan proyeksinya untuk pemotongan FFR tahun ini sebesar 50 bps," kata Faisal.

Terkait perang antara Israel-Iran, Faisal menambahkan bahwa ketidakpastian di Timur Tengah yang meningkat baru-baru ini akan menimbulkan risiko pada inflasi terutama dari sisi inflasi energi.

Dia memperkirakan eskalasi di Timur Tengah akan mereda pada jangka menengah, di tengah keputusan AS untuk tidak ikut campur secara langsung dan mencari solusi de-eskalasi konflik Israel-Iran. Hal ini tentu akan berdampak baik pada harga minyak.

Untuk kebijakan moneter bank sentral lainnya, PermataBank melihat Bank Indonesia (BI), Bank of Japan (BoJ), Bank of England (BoE), dan People's Bank of China (PBoC) juga akan cenderung mempertahankan suku bunga kebijakannya di tengah ketidakpastian global yang sedang meningkat.

"Kami melihat banyak bank sentral yang akan lebih melakukan wait and see di tengah kembali naiknya gejolak ketidakpastian global ini," katanya.

Sedangkan dari sisi domestik, PermataBank melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan berada di bawah 5 persen.

Dengan masih berlangsungnya ketidakpastian global, maka risk off sentiment pada kegiatan investasi dan ekspansi sektor riil akan terus berlanjut yang pada akhirnya akan menekan pertumbuhan ekonomi.

"Jika sentimen perang dagang dan geopolitik dapat segera berakhir, maka ada peluang untuk ekonomi Indonesia dapat terakselerasi dan kembali ke kisaran 5 persen," kata Faisal.