Menghapus Kuota Tak Berarti Bebas Impor Semua Produk
JAKARTA - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi memastikan komoditas yang diimpor hanya barang yang kurang atau insufficient, misalnya daging. "Menghapus kuota impor jangan ditafsirkan bahwa semua komoditas terbuka untuk impor. Tidak begitu," tegas Arief, Selasa (15/4).
Menurut dia, apa yang dimaksud presiden adalah agar kuota impor dipermudah, dibuka seluas-luasnya, jangan hanya 1-2 perusahaan saja. "Angkanya kan sudah ada di neraca komoditas, itu yang dibuka."
Kecuali itu, katanya, Bapanas menegaskan perlindungan terhadap petani dan peternak di dalam negeri tetap jadi prioritas di tengah rencana Presiden Prabowo Subianto menghapus sistem kuota impor. Impor hanya fokus pada komoditas pangan yang tidak mencukupi, tetapi terbuka bagi semua pengusaha, bukan pengusaha tertentu seperti regulasi selama ini
Berdasarkan, data proyeksi Neraca Pangan yang diolah Bapanas, komoditas daging ruminansia seperti daging sapi dan kerbau, menunjukkan masih ada selisih defisit antara ketersediaan stok terhadap kebutuhan konsumsi.
Disebutkan stok di awal tahun 2025 ini ada 65,6 ribu ton. Dari angka itu, proyeksi produksi sapi/kerbau dalam negeri setahun di angka 410,3 ribu ton dan hasil pemotongan sapi/kerbau bakalan di 141,3 ribu ton, sehingga total ketersediaan berada di angka 617,3 ribu ton. Sementara proyeksi kebutuhan konsumsi setahun secara nasional di angka 766,9 ribu ton.
Selain daging ruminansia, kedelai dan bawang putih kata Arief juga perlu dipasok dari dari luar negeri atau impor.
"Produksi dalam negeri itu selalu menjadi yang utama, nomor satu itu. Adapun kalau belum cukup atau insufficient, nah itu baru dipikirkan pengadaan dari luar negeri. Jadi pengadaan dari luar negeri itu adalah alternatif terakhir," terang Arief.
Menanggapi hal itu, peneliti dari Mubyarto Institute, Awan Santosa mengatakan, di tengah perang dagang akibat tarif Trump Pemerintah harus tetap konsisten untuk merealisasikan peta jalan menuju swasembada pangan.
"Berbagai kebijakan perlindungan dan pengembangan bagi petani dan peternak lokal mesti menjadi prioritas nasional," kata Awan.
Riset dan Inovasi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti yang diminta pendapatnya mengatakan hasil riset lembaga kajian mereka menyebutkan serapan susu segar dari peternak lokal pada 2018 sekitar 12 persen atau lebih rendah dibanding tahun 1990-an yang terserap 25-30 persen.
"Artinya jika pemerintah ingin melindungi petani dan peternak lokal maka kebijakannya seharusnya berpihak kepada petani dan peternak lokal," katanya.
Hal itu bisa dengan menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan petani dan peternak lokal dengan harga terjangkau, jika perlu disubsidi.
Kemudian, memberikan bimbingan teknis untuk meningkatkan produktivitas petani peternak, lalu ?melakukan riset dan inovasi terutama breeding untuk menciptakan bibit bibit unggul.
Berikutnya kata Esther adalah mengenalkan teknologi pengolahan pertanian dan peternakan agar petani dan peternak memproduksi produk bernilai tambah nisalnya kopi diolah jadi roasted coffee dan dijual dalam kemasan, begitu pula susu diolah menjadi keju.
"Terakhir, membantu marketing channel-nya agar produk petani dan peternak langsung diserap pasar tanpa melalui tengkulak (middleman)," pungkas Esther.