Seri Final Destination Kembali! Film Horor yang Bikin Takut Naik Pesawat Hadir Lagi Setelah 14 Tahun

Genvoice.id | 14 May 2025

JAKARTA, GENVOICE.ID - Dua puluh lima tahun sejak film pertamanya menebar ketakutan dari kejadian sehari-hari yang berubah jadi perangkap mematikan, Final Destination kembali dengan babak baru: Bloodlines.

Dilansir dari Variety, film keenam ini hadir setelah jeda 14 tahun dan berusaha menyegarkan sekaligus merangkai kembali benang merah seluruh film sebelumnya.

"In death, there are no accidents, no coincidences, no mishaps, and no escapes."

Kalimat tersebut dilontarkan oleh William Bludworth, sang pengurus jenazah misterius yang diperankan Tony Todd, ikon horor yang kembali tampil untuk terakhir kalinya sebelum wafat pada 2024. Dalam Final Destination, tidak ada sosok pembunuh bertopeng, vampir, atau zombie. Hanya satu antagonis tak terlihat: kematian itu sendiri, yang selalu mengejar korban yang berhasil menghindar dari takdirnya.

Film pertama (2000) mengikuti sekelompok siswa SMA yang selamat dari kecelakaan pesawat setelah salah satu dari mereka mengalami firasat. Tapi selamat dari satu bencana bukan berarti aman, karena kematian tidak suka ditipu. Maka dimulailah serangkaian kematian tak terduga, dirancang dari benda-benda biasa seperti kawat jemuran atau pisau dapur.

Penulis naskah Jeffrey Reddick pertama kali mencetuskan ide ini saat membaca berita tentang seorang wanita yang selamat dari kecelakaan pesawat berkat firasat ibunya. Naskah awalnya ditujukan sebagai episode untuk The X-Files, namun kemudian berkembang menjadi film bioskop. Ide tentang "kematian sebagai kekuatan tak terlihat" awalnya sempat mendapat tekanan untuk dibuatkan sosok fisik, namun akhirnya tetap dipertahankan sebagai kekuatan abstrak yang muncul lewat elemen-elemen alam seperti angin atau air.

Rangkaian kematian dalam film ini bukan sekadar adegan sadis, tapi dibangun dengan presisi seperti mesin reaksi berantai ala Rube Goldberg, penuh kejutan, ironi dramatis, dan kadang bahkan humor gelap. Penonton dibuat tegang saat menyaksikan karakter terjebak dalam situasi biasa yang berubah menjadi jebakan mematikan, seperti kursi dokter gigi atau kaleng tuna.

Salah satu kekuatan waralaba ini adalah bagaimana setiap film saling terkait. Final Destination 5 bahkan mengungkap dirinya sebagai prekuel dari film pertama, sementara Bloodlines memperdalam hubungan antar karakter lintas generasi, dimulai dari premonisi seorang nenek di tahun 60-an hingga cicitnya yang berusaha memutus rantai kematian.

Para pembuat film menggarap Bloodlines dengan pendekatan segar. Format IMAX digunakan untuk memperluas sudut pandang saat kematian mendekat, membuat penonton merasakan kehadirannya melalui visual sehari-hari yang kini terasa mengancam. "Setiap benda bisa jadi senjata," ujar produser Craig Perry. "Dari mug kopi sampai alat cukur hidung."

Tak hanya soal kematian, film ini juga menyuguhkan pertanyaan moral. Dalam sekuel sebelumnya, karakter bisa memperpanjang hidup dengan membunuh orang lain, menjadikannya refleksi etika yang dalam.

"Apakah kamu akan mengambil hidup orang lain demi menyelamatkan dirimu?" tanya Perry.

Bloodlines juga menyentuh sisi emosional, terutama melalui monolog terakhir Tony Todd yang tidak ditulis dalam naskah.

"Ia bicara langsung ke kamera dan berkata: 'Hargai setiap momen karena kamu tak pernah tahu kapan semuanya berakhir'," kata sutradara Zach Lipovsky.

Waralaba Final Destination telah menorehkan pengaruh besar dalam horor modern, dari estetika hingga pesan eksistensialnya. Dan dengan konsep dasar yang tak pernah usang, bahwa kematian bisa datang kapan saja, dari mana saja, jalan untuk kisah-kisah berikutnya masih terbuka lebar.

"Kalau aku lihat truk pembawa kayu di jalan," ujar penggemar lama, Diana Ali Chire.