Waspadalah! Liberalisasi Impor Dapat Memperdalam Ketimpangan
JAKARTA- Meskipun Presiden Prabowo Subianto memerintahkan penghapusan system kuota impor bukan berarti membuka keran impor selus-luasnya. "Kebijakan itu untuk mencegah praktik monopoli impor yang selama ini menguntungka segelintir orang," tegas Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono melalui keterangan tertulis, Minggu (13/4).
Kebijakan tersebut, katanya, diambil dengan tujuan untuk mencegah praktik monopoli impor yang merugikan namun tetap mengedepankan perlindungan terhadap produksi dalam negeri.
"Bukan berarti kemudian impor besar-besaran, semua diimpor, bukan! Tetap harus melindungi produksi dalam negeri untuk komoditas pangan, teknologi, komoditas pakaian, komoditas apa pun. Produksi dalam negeri tetap diprioritaskan," kata Sudaryono.
Anggota Dewan Pengurus Daerah (DPD) Pemuda Tani Indonesia DIY, Pranasik Faihaan, mendukung pernyataan Wamentan tersebut agar komoditas strategis seperti pangan, arah kebijakan tidak boleh semata-mata berlandaskan logika pasar bebas.
Ia menekankan pentingnya menjadikan pangan sebagai instrumen kedaulatan, bukan sekadar urusan perdagangan.
"Sepakat saat Pak Wamen menyatakan pangan harus dilindungi. Sebab pangan itu soal kedaulatan, bukan hanya komoditas dagang. Harusnya orientasinya bukan sekadar menghindari monopoli impor, tapi bagaimana negara ini mampu swasembada bahkan ekspor," katanya, Minggu (13/4).
Menurut dia, ketimpangan daya tawar petani kecil di lapangan masih kerap menjadi korban dari struktur distribusi pangan yang tidak adil. Tanpa adanya keberpihakan nyata dalam bentuk subsidi, jaminan harga dasar, dan akses pasar yang merata, kebijakan liberalisasi impor hanya akan memperdalam ketimpangan.
"Jangan biarkan petani hanya jadi penonton di tanahnya sendiri. Kalau negara tak berpihak, siapa lagi yang akan menjamin keberlangsungan pangan kita?"
Pranasik membenarkan, membuka sistem impor tanpa kuota memang bisa mendorong efisiensi pasar, namun akan menjadi bumerang bila tanpa perisai kebijakan afirmatif yang jelas untuk melindungi petani dan produksi lokal.
"Kalau kita bicara kedaulatan pangan, maka harus ada roadmap menuju ketahanan dan kemandirian. Bukan menormalkan kebergantungan," tegasnya.
Pranasik juga menilai bahwa pemuda dan petani muda harus dilibatkan secara aktif dalam desain kebijakan pertanian jangka panjang agar regenerasi petani tidak semakin tergerus akibat ketidakpastian harga dan pasar yang dikuasai impor.
"Petani muda butuh harapan, bukan ancaman. Kalau negara terus membuka pintu impor, maka yang kita panen bukan kesejahteraan, melainkan kebergantungan," katanya.
Pranasik menekankan bahwa swasembada pangan seharusnya tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi agenda utama negara yang diwujudkan melalui investasi serius dalam riset pertanian, dukungan pembiayaan, dan infrastruktur pasca-panen.
Ia menyebut bahwa banyak komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, hingga bawang merah masih rentan terhadap fluktuasi harga akibat ketergantungan impor.
"Jangan sampai setiap ada gejolak global, kita panik dan menyalahkan cuaca atau gagal panen, padahal masalah utamanya adalah sistem yang tidak memihak petani," ujarnya.