Lonjakan Wisatawan Asing di Jepang, Antara Manfaat Ekonomi dan Tantangan Sosial

Genvoice.id | 14 Feb 2025

JAKARTA, GENVOICE.ID - Sebuah video viral yang memperlihatkan seorang wanita asal Chile melakukan pull-up di gerbang torii suci di Jepang menuai kecaman luas. Bagi banyak warga Jepang, ini menjadi contoh terbaru dari dampak negatif pariwisata asing, di mana pengunjung luar negeri dianggap kurang menghormati budaya lokal dan memperlakukan negara ini layaknya taman bermain.

Dilansir dari Independent, jumlah wisatawan asing ke Jepang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun angka resmi tahun 2024 belum dirilis, dipastikan jumlahnya akan melampaui rekor 31,9 juta wisatawan pada 2019, sebelum pandemi COVID-19. Namun, lonjakan ini juga menimbulkan berbagai tantangan, mulai dari aksi vandalisme di tempat suci hingga keputusan untuk menutupi pemandangan Gunung Fuji akibat terlalu banyaknya wisatawan yang menyebabkan kemacetan dan sampah berserakan.

Meskipun Jepang belum mengalami protes anti-pariwisata seperti di Tenerife, di mana turis diusir dari pantai oleh warga setempat, kekhawatiran semakin meningkat. Pemerintah Jepang kini mengimbau wisatawan asing untuk menghindari musim puncak serta menjelajahi destinasi di luar kota-kota utama seperti Tokyo, Kyoto, dan Osaka agar dampak pariwisata lebih merata.

Banyak destinasi wisata populer di Jepang kewalahan menghadapi lonjakan wisatawan. Di Kyoto, misalnya, penduduk lokal harus berebut tempat di bus dengan turis yang membawa koper besar. Sementara itu, sejumlah restoran kecil enggan menerima pelanggan asing karena kendala bahasa dan ketidaktahuan wisatawan tentang menu yang mereka pesan.

Fenomena ini mendorong beberapa wisatawan untuk mencari pengalaman yang lebih autentik di luar rute wisata utama, terutama bagi mereka yang sudah pernah berkunjung sebelumnya. Alpha Takahashi, seorang penerjemah di Grand Tea Ceremony Tokyo, menyebut bahwa banyak wisatawan kini lebih tertarik untuk mengeksplorasi aspek budaya Jepang yang lebih mendalam daripada hanya mengunjungi tempat-tempat terkenal.

Pemerintah Jepang menyadari bahwa pertumbuhan jumlah wisatawan harus dikelola dengan baik agar tetap berkelanjutan. Shota Adachi, Wakil Direktur Badan Pariwisata Jepang, menyatakan bahwa target 60 juta wisatawan per tahun pada 2030 hanya bisa dicapai jika jumlah wisatawan tersebar lebih merata, baik secara geografis maupun sepanjang tahun.

Sebagai langkah awal, pemerintah telah merilis panduan etiket wisata baru yang meminta turis asing untuk memahami dan menghormati budaya Jepang. Panduan ini bahkan berpotensi ditampilkan dalam video penerbangan menuju Jepang, mirip dengan video keselamatan di pesawat.

Selain itu, beberapa daerah mulai mempertimbangkan kebijakan pajak wisata yang lebih tinggi bagi pengunjung asing. Wali Kota Himeji, misalnya, mengusulkan tarif masuk lebih mahal bagi wisatawan asing untuk mengunjungi Kastil Himeji. Langkah ini bertujuan untuk mendistribusikan manfaat ekonomi pariwisata lebih adil kepada masyarakat setempat.

Namun, beberapa ahli seperti Ryo Nishikawa, profesor di Rikkyo University, memperingatkan bahwa kebijakan ini berisiko merusak reputasi Jepang sebagai negara yang ramah wisatawan. Sebagai alternatif, ia mengusulkan konsep machizukuri atau "pembangunan komunitas", di mana penduduk setempat berperan aktif dalam melestarikan budaya dan warisan daerah mereka.

Dengan nilai tukar yen yang lemah, Jepang semakin menarik bagi wisatawan asing. Namun, kenaikan harga tiket pesawat akibat tingginya permintaan membuat perjalanan ke luar negeri semakin sulit bagi warga Jepang sendiri. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini berpotensi menimbulkan sentimen negatif terhadap wisatawan asing.

Pemerintah Jepang kini berupaya untuk menyeimbangkan manfaat ekonomi dari pariwisata dengan kenyamanan warga lokal. Mengajak wisatawan menjelajahi daerah yang kurang populer, mengedukasi mereka tentang budaya lokal, serta mengatur kembali beban pariwisata di kota-kota besar menjadi langkah penting menuju pariwisata yang lebih berkelanjutan.

Dengan belajar dari pengalaman negara lain, Jepang berharap dapat mengelola pertumbuhan wisata dengan lebih baik tanpa mengorbankan identitas budayanya