Dubes Palestina untuk Inggris Desak Pengakuan Negara Palestina Demi Hentikan 'Status Quo Mematikan'
JAKARTA, GENVOICE.ID - Duta Besar Palestina untuk Inggris, Husam Zomlot, kembali mendesak pemerintah Inggris di bawah Partai Buruh agar segera mengakui kedaulatan Palestina. Menurutnya, semakin lama pengakuan itu ditunda, semakin memperkuat kondisi tidak adil yang terus berlangsung, bahkan bisa dianggap sebagai dukungan terhadap sistem apartheid.
Dalam opininya di The Guardian, Zomlot meminta pemerintah memenuhi janji politiknya menjelang konferensi tingkat tinggi PBB di New York pekan depan yang akan membahas solusi dua negara.
"Pengakuan bukanlah hadiah atau hukuman bagi siapa pun, melainkan pengakuan sah atas hak dasar rakyat Palestina untuk hidup bebas di tanah airnya," tulis Zomlot.
Saat ini, negara-negara Barat tengah terlibat negosiasi intensif untuk menyepakati apakah pengakuan tersebut akan diberikan secara langsung atau disertai tenggat waktu dan syarat tambahan. Sementara Amerika Serikat justru mengimbau konferensi itu diboikot, Prancis dan Inggris masih membahas kemungkinan pengakuan bersama.
Zomlot menegaskan bahwa pengakuan Palestina tidak boleh terus dihambat oleh berbagai prasyarat. Semakin lama keputusan itu diulur, katanya, justru memberikan Israel hak veto permanen atas masa depan Palestina. "Perdamaian tidak bisa dibangun antara penjajah dan yang dijajah, melainkan antara dua pihak yang setara," tegasnya.
Dalam perkembangan terpisah, Presiden Otoritas Palestina (PA), Mahmoud Abbas, mengirim surat resmi kepada Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Dalam surat itu, Abbas menyatakan dukungannya agar Hamas meletakkan senjata dan tidak lagi menguasai Gaza sebagai bagian dari negara Palestina masa depan. Selain itu, PA juga menyatakan komitmen untuk melakukan reformasi internal dan menyelenggarakan pemilu presiden dalam waktu satu tahun dengan pengawasan internasional.
Pemerintah Prancis menilai pernyataan Abbas ini sebagai langkah maju menuju perdamaian. Namun, seorang diplomat Teluk menyebutkan bahwa meskipun Hamas bersedia mundur dari kekuasaan di Gaza, belum ada kesepakatan final terkait pelucutan senjata kelompok tersebut maupun siapa yang akan menangani proses itu.
Hugh Lovatt dari European Council on Foreign Relations menilai, pengakuan terhadap Palestina bisa mendorong reformasi politik di tubuh PA, termasuk pelaksanaan pemilu yang lama tertunda. Namun pengakuan itu dinilai belum cukup untuk memberi tekanan terhadap Hamas yang masih menganggap pengakuan semata tidak menjadi insentif cukup untuk melucuti senjata sebelum ada kesepakatan damai menyeluruh dengan Israel.
Di dalam negeri Inggris, Menteri Timur Tengah Hamish Falconer mendapat desakan kuat dari anggota parlemen lintas partai agar pemerintah segera mengambil keputusan sebelum konferensi PBB digelar. Meskipun secara pribadi Falconer tampak mendukung, keputusan akhir tetap berada di tangan Perdana Menteri Keir Starmer.
Saat ini, tiga negara G7 yang paling mungkin memberikan pengakuan resmi terhadap Palestina adalah Inggris, Prancis, dan Kanada. Adapun KTT tahunan G7 akan dimulai akhir pekan ini di Kanada.
Konferensi PBB di New York sendiri memang tidak secara resmi membahas soal pengakuan, tetapi lebih fokus pada upaya konkret untuk menghidupkan kembali solusi dua negara - suatu pendekatan yang dulu didukung Israel, tetapi kini ditinggalkan.
Sejumlah diplomat juga menilai ketegangan antara Eropa dan Amerika Serikat di bawah Donald Trump terkait isu Israel-Palestina kini semakin mencolok. Bahkan Duta Besar AS yang baru untuk Israel, Mike Huckabee, menyatakan bahwa solusi dua negara kini dinilai tidak lagi realistis.