ChatGPT Jadi Penasehat Hidup Gen Z! Cerdas atau Bahaya? Ini Fakta Mengejutkannya

Genvoice.id | 13 Jun 2025

JAKARTA, GEVOICE.ID - Gen, pernah nggak kamu bingung banget ambil keputusan besar, terus akhirnya nanya ke ChatGPT? Kamu nggak sendiri. Ternyata, makin banyak Gen Z yang menjadikan chatbot ini bukan cuma buat bantu ngerjain tugas atau revisi email, tapi juga sebagai tempat curhat, minta solusi, bahkan buat ambil keputusan hidup.

Sam Altman, CEO OpenAI, baru-baru ini buka suara soal ini. Dalam sebuah acara teknologi, dia bilang, "Mereka tidak benar-benar membuat keputusan hidup tanpa bertanya kepada ChatGPT apa yang harus mereka lakukan." Gokil banget, kan? Tapi ini juga sekaligus jadi peringatan. Kecanggihan AI bisa jadi pisau bermata dua. Di satu sisi bantu banget, tapi di sisi lain… bisa juga ngebahayain.


Fenomena Baru: ChatGPT Jadi Teman Hidup Digital

Di era serba online seperti sekarang, nggak heran kalau banyak orang-terutama Gen Z-lebih nyaman ngobrol sama AI ketimbang manusia. Gen Z tumbuh di tengah krisis iklim, ketidakpastian ekonomi, dan budaya digital yang makin intens. Jadi, saat keputusan besar datang, ChatGPT sering jadi pilihan karena selalu online, nggak nge-judge, dan bisa kasih jawaban dalam hitungan detik.

Bukan cuma soal Gen Z, tren ini juga merambah ke usia 20-30an. Banyak milenial yang pakai ChatGPT kayak asisten pribadi-mulai dari nyusun email sampai mikirin langkah karier berikutnya.


Manfaatnya Emang Nyata, Tapi…

Yup, nggak bisa dipungkiri, ada sisi positif dari pakai ChatGPT buat bantu ambil keputusan. AI ini murah, tersedia 24/7, dan bisa jadi tempat aman buat mikir tanpa takut dikomentarin. Buat kamu yang mungkin belum punya akses ke mentor, psikolog, atau sekadar teman cerita, ChatGPT bisa jadi "ruang ngobrol" yang nyaman.

Buat yang neurodivergen atau punya ADHD, AI kayak ChatGPT bahkan bisa bantu strukturin pikiran, merangkum ide, dan kasih sudut pandang baru. Kadang, jawabannya bukan cuma sekadar solusi, tapi justru bantu kamu nemuin jawabanmu sendiri.


Risikonya Nggak Kecil, Gen!

Tapi, jangan asal percaya 100% juga. ChatGPT memang pintar niru empati, tapi dia bukan manusia. Dia nggak punya intuisi, pengalaman hidup, atau perasaan yang bisa membaca hal-hal tak terucap dari kamu. Bahkan, AI ini bisa aja halu alias ngasih jawaban yang ngaco banget-dan kamu nggak sadar.

Selain itu, karena ChatGPT dilatih dari data internet, dia juga bawa bias-bias yang nggak selalu sehat. Dan satu hal yang paling penting: kalau nasihatnya salah, siapa yang bisa kamu salahkan? Nggak ada tanggung jawab emosional atau moral di balik mesin.

Belum lagi soal ketergantungan. Semakin sering kamu curhat ke AI, makin banyak data pribadimu yang dia simpan. Dan itu bisa jadi masalah besar di masa depan.


AI Nggak Gantikan Hubungan Nyata

Psikolog juga mulai khawatir, Gen. Ketika kamu lebih sering merasa 'dimengerti' sama chatbot, bisa jadi kamu makin jauh dari koneksi yang sesungguhnya. AI bisa bikin kamu nyaman, tapi juga bisa ngasih solusi cepat yang justru bikin kamu kehilangan kesempatan untuk benar-benar nyambung sama orang lain.

Dan jangan lupa, perusahaan seperti OpenAI tentu pengen kamu terus pakai layanan mereka. Makin kamu tergantung, makin banyak yang bisa mereka dapat.


Tren Ini Ada Alasannya

Tapi, kita juga nggak bisa serta-merta nyalahin Gen Z. Dunia sekarang memang terasa makin berat dan nggak pasti. Di tengah rasa sepi, tekanan sosial, dan krisis global, wajar aja kalau ChatGPT terasa kayak tempat berlindung. Lebih aman, lebih cepat, dan bisa diandalkan kapan pun kamu butuh.

Namun yang perlu diingat, Gen, kadang jawaban terbaik bukan datang dari chatbot. Mungkin butuh waktu lebih lama, tapi ngobrol sama orang yang benar-benar peduli bisa kasih kamu hal yang nggak bisa diberikan AI: kedekatan dan empati yang nyata.


Pakai Boleh, Tapi Jangan Lupa Manusia

Nggak ada yang salah pakai ChatGPT buat mikir atau bantu ambil keputusan. Tapi sebelum kamu makin nyerahin semua ke AI, coba tanya ke diri sendiri: "Kenapa aku lebih milih tanya ke AI?" Bisa jadi kamu lagi menghindari sesuatu, atau sebenarnya butuh ngobrol sama orang beneran.

Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pelarian. Karena pada akhirnya, yang bisa benar-benar ngerti kamu… ya manusia juga.