Revisi UU Pangan Harus Mampu Menjawab Tantangan Terkini
JAKARTA- Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Kehati, Renata Puji Sumedi mengatakan revisi Undang-Undang No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan merupakan momentum untuk memperkuat dimensi keadilan iklim, kedaulatan pangan lokal, dan partisipasi generasi muda dalam kerangka regulasi nasional.
"Perlu pendekatan partisipatif, lintas sektor dan berbasis bukti (evidence-based), dan ecoregional agar mampu menjawab tantangan zaman secara komprehensif," kata Renata dalam diskusi publik Koalisi Pangan Baik bertajuk "Arah Baru UU Pangan, Memperkuat Lokal dan Sistem Pangan Berdaulat," yang berlangsung, Rabu (11/6).
Menurut dia, pemerintah harus aktif melibatkan dan mendengarkan masyarakat agar regulasi yang direvisi lebih tepat guna dan menjawab tantangan pangan terkini.
Dia menilai integrasi perubahan iklim ke sistem pangan dan lembaga pangan berbasis komunitas juga perlu dipersiapkan dan dibangun agar tangguh menghadapi berbagai tantangan pangan ke depan.
"Perlu adanya afirmasi untuk petani kecil, nelayan, dan masyarakat lokal. Keberpihakan kepada petani kecil terkait penguasaan lahan, air dan sumber daya lainnya juga penting," papar Renata.
Selain hal-hal teknis, dia juga mengingatkan pentingnya melibatkan masyarakat adat dalam penguatan pangan nasional, mengingat diversifikasi pangan lokal yang sangat melimpah di Indonesia.
"Masyarakat adat adalah pemilik pengetahuan lokal, seperti pengelolaan benih lokal, pemanfaatan lahan, jenis biodiversitas, dan adanya pemahaman akan saling kebergantungan antar unsur dalam ekosistem," katanya.
Sementara itu, Manajer Advokasi Kebijakan Yayasan Kehati, Muhammad Burhanudin berharap dalam revisi UU Pangan nantinya, negara dapat mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat atas sistem pangan yang berbasis pada pengetahuan tradisional, sumber daya lokal, dan budaya pangan.
Masyarakat adat pun, lanjut dia, berhak untuk mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan sumber daya pangan lokal secara berkelanjutan sesuai dengan adat istiadatnya serta mendapatkan pengakuan perlindungan hukum atas wilayah adat, termasuk kawasan pangan dan ekosistem pendukungnya.
Masyarakat adat juga harus memperoleh akses atas bantuan teknis, pendanaan, dan program penguatan kapasitas dalam pengelolaan pangan adat dan terlibat dalam penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pangan di tingkat lokal dan nasional.
"Pemerintah wajib menyusun kebijakan afirmatif untuk penguatan sistem pangan berbasis masyarakat adat, termasuk perlindungan atas pangan, benih, dan pengetahuan tradisionalnya," kata Burhan.
Pengakuan hak atas pangan masyarakat adat sebagaimana dimaksud harus selaras dengan prinsip keberlanjutan, kedaulatan pangan, keadilan sosial, dan perlindungan ekologi.
Sementara itu, analis perdagangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan, Santi W mengatakan tolok ukur (benchmark) dan sinergi lintas kementerian/lembaga terkait sangat penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan.
"Pangan ini luas, dari hulu ke hilir, dari produktivitas sampai tata niaga, dan kementerian teknis banyak sekali yang mengurusi pangan, sehingga diperlukan adanya koordinasi berbagai kebijakan terkait pangan di Indonesia," kata Santi dalam diskusi tersebut.
RUU Pangan katanya tengah berada dalam tahap penyusunan naskah akademik, dan terdapat sejumlah muatan yang masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Beberapa di antaranya adalah terkait produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional, hingga kerawanan pangan.
"Mengenai kerawanan pangan, ini juga menyangkut diversifikasi pangan lokal, kemudian keragaman sumber daya alam, food loss atau kehilangan pangan," kata Santi.
Topik-topik tersebut akan diperluas ke beberapa faktor eksternal seperti tantangan iklim dalam ketahanan pangan, penyelamatan pangan yang masih berhubungan dengan food loss dan food waste, termasuk keamanan pangan dan pengawasan penyelenggaraan pangan.
Berkelanjutan dan Resilien
Pengamat Pertanian dari Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa (Unwar), Denpasar, Bali, I Nengah Muliarta yang diminta pendapatnya mengatakan, kedaulatan pangan adalah konsep yang sangat penting, terutama dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman hayati dan budaya pertanian.
Dengan memperkuat kedaulatan pangan lokal berarti memberi ruang bagi produksi pangan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal, serta mengurangi kebergantungan pada impor. Hal ini sejalan dengan upaya untuk menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan resilient.
"Revisi undang-undang ini perlu menegaskan pentingnya kedaulatan pangan lokal dengan memberikan dukungan yang lebih kuat untuk produksi pangan yang berbasis pada potensi daerah. Ini termasuk pengaturan yang jelas untuk mengembangkan varietas pangan lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat,"tegas Muliarta.
Regulasi jelasnya harus mempertimbangkan aspek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim agar membantu petani lokal untuk bertahan dan berproduksi secara berkelanjutan.
"Undang-undang harus memberikan panduan bagi petani untuk mengimplementasikan praktik yang ramah lingkungan dan tahan terhadap perubahan iklim,"paparnya.
Dia pun berharap, hasil revisi UU Pangan akan menjadi panduan untuk menciptakan sistem pangan yang lebih adil, berkelanjutan, dan responsif terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat.