Bansos Tak akan Pernah Bisa Kurangi Kemiskinan

Genvoice.id | 12 Jun 2025

JAKARTA- Profesor Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya, Rosdiana Sijabat dan Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto sependapat bahwa program pemberian amal karitatif seperti bantuan sosial dan semacamnya tak efektif untuk mengurangi kemiskinan.

Keduanya, yang dihubungi Rabu (11/6), melihat di tengah keterbatasan anggaran untuk mengurangi kemiskinan, pemerintah perlu mereformasi kebijakan fiskal sekaligus mencari akar masalah sebelum merumuskan kebijakan yang tepat.

Menurut Bagong Suyanto, merujuk data World Bank, lebih dari 60 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global dan kondisi itu menimbulkan kekhawatiran terhadap efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan yang selama ini dijalankan pemerintah.

"Sepanjang program yang dikembangkan pemerintah itu bersifat amal karitatif seperti bantuan tunai dan sejenisnya, maka upaya pengurangan kemiskinan tidak akan efektif," katanya.

Ia menilai program seperti hanya sekadar memperpanjang nafas, bukan memberdayakan masyarakat miskin untuk mandiri. "Substansi program, jauh lebih penting daripada sekadar nama atau bentuk bantuan."

"Banyak nomenklatur program yang terkesan peduli terhadap masyarakat miskin, namun minim muatan pemberdayaan yang konkret. Struktur sosial dan rendahnya literasi keuangan masyarakat juga menjadi faktor yang seringkali diabaikan dalam perumusan kebijakan," ia menambahkan.

Ia tak menyangkal pemberian modal usaha memang penting, tapi lebih efektif jika diberikan dalam bentuk aset produksi. "Misalnya, tukang becak yang diberi becak sendiri atau penjahit yang diberi mesin jahit, itu akan menaikkan pendapatan mereka secara signifikan."

Jaring Pengaman Sosial

Rosdiana Sijabat mengamini bahwa bansos tidak akan melakukan perubahan secara struktural terhadap masalah kemiskinan di Indonesia.

"Bansos itu memang penting tapi hanya sebatas buffer atau jaring pengaman sosial. Bukan mengubah keluarga yang tadinya miskin menjadi tidak miskin," tegas Rosdiana.

Ia menyarankan pemerintah melakukan agar pendekatan struktural dari sekadar bagi bagi bansos. "Misalnya secara lokus geografis masalah kemiskinan itu seperti apa, baik di perkotaan maupun di perdesaan."

Di desa, kebijakan pemerintah katanya sebaiknya fokus pada bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan yang konsisten. "Kalau di perdesaan adalah sektor pertanian, informal maka kelompok yang bekerja di situ benar-benar tersentuh kebijakan yang pro terhadap kehidupan mereka, misalkan subsidi pupuk. Kebijakan seperti itu mengarah kepada pekerjaan atau mata pencaharian utama sehari hari masyarakat di pedesaan," terang Rosdiana.

Hal yang sama juga untuk perkotaan, apalagi kalau melihat kontribusi lapangan usaha ke produk domestik bruto (PDB), penyumbang terbesar sudah beralih dari pertanian ke sektor manufaktur.

"Artinya, kebijakan kebijakan ekonomi itu harus benar benar menyentuh kelompok pekerja sektor manufaktur, kalau tidak salah 44 persen lapangan pekerjaan itu dari sektor manufaktur, artinya kelompok kerja kita di wilayah perkotaan itu terkonsentrasi di industri manufaktur. Artinya kebijakan yang benar-benar mendorong daya beli pekerja sektor manufaktur itu yang harus dijaga," katanya.

Pendekatan seperti itu bisa dilakukan, karena kemiskinan itu melekat karena ada kondisi struktural yang membuat masyarakat sulit keluar dari garis kemiskinan seperti layanan kesehatan dan akses pendidikan yang tidak memadai, serta infrastruktur publik yang tidak bisa diakses kelompok masyarakat kecil.