Miris! Alokasi APBN: Bayar Utang Rp350 T, Pengentasan Kemiskinan Cuma Rp75 T

Genvoice.id | 11 Jun 2025

JAKARTA - Peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda mengungkapkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, 14 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk membayar utang.

"Jika belanja kita sebesar Rp2.500 triliun, artinya Rp350 triliun digunakan untuk bayar utang. Sementara bantuan sosial untuk mengurangi kemiskinan, hanya sekitar 3 persen setara Rp75 Truiliun," katanya, Selasa (10/6).

Ia menjelaskan anggaran untuk program kemiskinan tertinggi terjadi pada 2020 dengan porsi sekitar 7 persen. "Jadi, mana bisa mengurangi kemiskinan secara signifikan jika porsi belanja kita lebih banyak digunakan untuk membayar utang," ungkapnya.

Secara terpisah, pengamat kebijakan publik dari Fitra, Badiul Hadi mengatakan, pemerintah selama ini lebih fokus pada belanja rutin dan konsumsi, sedangkan investasi produktif, terutama di desa, masih minim.

Selain itu, katanya, pengeluaran belanja modal (infrastruktur) di APBN hanya sekitar 3-6 persen dari PDB, jauh di bawah kebutuhan untuk pemberdayaan ekonomi desa. Akibatnya, kebergantungan desa terhadap sumber daya lokal tinggi, produktivitas rendah, dan ketimpangan antar wilayah tetap tinggi. "Belum lagi angka kemiskinan perdesaan juga masih tinggi 11,34 persen dan kota 6,66 persen dari total penduduk miskin Indonesia."

Menurut Badiul, beban cicilan pokok dan bunga utang (debt service) mengambil porsi besar dari APBN. Pada 2019, jumlahnya mencapai sekitar 649?triliun rupiah atau sekitar 25?persen dari total anggaran.

"Alokasi untuk utang terbanyak dibanding belanja infrastruktur dan pendidikan, sehingga ruang fiskal untuk sektor produktif desa semakin terbatas," jelas Badiul.

Dengan pelambatan pendapatan negara, dan banyak program strategis yang harus dibiayai, maka utang menjadi pilihan.

Sebagai informasi, jumlah penduduk miskin jika merujuk pada standar baru bank dunia dimana metode penghitungan kemiskinan menggunakan PPP?2021, menaikkan ambang kemiskinan menjadi ?8,30 dollar per hari per kapita, yang menyebabkan terjadi lonjakan kenaikan jumlah penduduk kemiskinan Indonesia menjadi sekitar 194 juta.

Jumlah tersebut sangat jauh di atas data BPS (8,6? persen atau sekitar 24?juta jiwa, menunjukkan adanya gauging gap (perbedaan pengukuran global vs nasional).

Kurangi Kesenjangan

Menyikapi kenyataan tersebut, pemerintah diharapkan mengevaluasi strategi pembangunan, khususnya desain kebijakan fiskal dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Evaluasi itu penting agar upaya mewujudkan cita-cita nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur bisa tercapai.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengkritisi desain fiskal yang dinilai gagal menjawab akar persoalan kemiskinan di Indonesia.

Menurutnya, masalah utama terletak pada ketiadaan strategi nasional yang konkret untuk membangun perdesaan, di tengah membengkaknya utang negara dan ketimpangan anggaran antardaerah.

"Kita terus berbicara soal kemiskinan, tapi tidak pernah menyentuh akarnya. Tidak mungkin masing-masing provinsi membangun pedesaan secara sendiri-sendiri. Harus ada strategi dari pusat," kata Aditya dalam diskusi publik di Yogyakarta, Senin (9/6).

Dia pun mengutip data terkini Bank Dunia yang menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194 juta jiwa atau cenderung meningkat. Hal itu katanya mencerminkan kegagalan struktural.

Di sisi lain, utang luar negeri Indonesia telah menembus 450 miliar dollar AS, namun tidak memberikan dampak berarti terhadap perbaikan kesejahteraan rakyat.

"Kemana semua uang itu? Kalau APBN habis hanya untuk bayar utang, bagaimana desa bisa dibangun? Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal prioritas kebijakan," tambahnya.

Dia juga juga menyoroti ketimpangan distribusi anggaran antardaerah. Sebagai contoh, APBD DKI Jakarta yang mencapai 91 triliun rupiah jauh lebih besar dibanding gabungan APBD tiga provinsi besar di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketimpangan itu menurutnya memperjelas absennya visi pembangunan berbasis wilayah.

Dia pun mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan luar biasa (extraordinary policy) agar keluar dari jerat utang yang terus menggerus ruang fiskal negara. Apalagi, dalam kondisi global yang tidak stabil, Indonesia tidak bisa berharap pada bantuan eksternal.

"Negara lain juga sedang menghadapi krisisnya sendiri. Kita tidak punya banyak waktu. Semakin lama menunda, utang akan semakin menumpuk dan celah kebijakan makin sempit," tuturnya.