Proteksi Industri Lokal, RI Butuh Kebijakan Hambat Barang Impor

Genvoice.id | 09 May 2025

JAKARTA - Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda menilai, pemerintah sangat lambat mengeluarkan kebijakan guna menghambat derasnya arus barang impor sebagaimana dilakukan oleh Tiongkok, India, Malaysia, Thailand, dan banyak negara lain.

"Pemerintah sangat berhati-hati dan minim inovasi untuk mengeluarkan hambatan impor berupa Non-Tariff Barrier/NTB dan Non-Tariff Measure/NTM. Pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mempermudah masuknya arus barang impor di saat negara-negara lain memproteksi industri dalam negerinya," sesal Huda, Kamis (8/5).

Menurut Huda, yang diminta pendapatnya terkait pernyataan Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif yang membenarkan minimya NTB maupun NTM yang dibuat pemerintah, kenyataan itu memang sungguh memprihatinkan.

"Sangat disayangkan Indonesia tidak bergerak secepat negara lain dalam melindungi industri dalam negeri kita," tegasnya.

Sejauh ini, upaya pemerintah melindungi hasil produk dalam negeri, terutama produk manufaktur masih sangat minim. Hal itu menyebabkan produk-produk lokal kalah bersaing dibanding produk negara-negara lain baik di pasar ekspor maupun di dalam negeri.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Daerah Istimewa Yogyakarta, Tim Aprianto, minimnya proteksi itu terlihat pada relatif sedikitnya pemanfaatan instrumen NTB dan NTM untuk melindungi industri nasional.

Padahal, instrumen-instrumen serupa banyak digunakan negara-negara kompetitor untuk melindungi produk mereka agar tetap bersaing.

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif

hambatan perdagangan Indonesia, berupa NTB dan NTM, masih sedikit dibandingkan dengan negara-negara lain.

"Indonesia hanya memiliki sekitar 370 NTB dan NTM yang berlaku saat ini. Bandingkan dengan Tiongkok lebih dari 2.800 kebijakan, kemudian India 2.500 lebih, Uni Eropa sekitar 2.300, bahkan Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki lebih dari 1.000 NTB dan NTM," kata Febri di Jakarta, Kamis (8/5).

Padahal, NTB dan NTM merupakan instrumen penting yang digunakan oleh banyak negara maju untuk melindungi industri nasional dari serbuan produk impor. Menurutnya, ketimpangan jumlah instrumen proteksi tersebut menyebabkan industri di Tanah Air sering kalah bersaing di pasar domestik maupun global.

"Ini adalah salah satu alasan mengapa produk-produk asing begitu mudah masuk ke pasar kita, sementara negara lain memiliki banyak hambatan dagang terutama negara maju," katanya.

Lebih lanjut Tim mengatakan lemahnya proteksi itu diperparah dengan belum direvisinya sejumlah regulasi yang justru mempermudah arus barang impor, salah satunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024. "Permendag itu tadinya dikeluarkan untuk merespons kongesti di pelabuhan, tapi dampaknya membuka keran impor besar-besaran, sehingga industri lokal makin tertekan," jelasnya.

Menurut Tim, strategi proteksi justru semakin relevan di tengah ketegangan perdagangan global yang dipicu kebijakan tarif dari Amerika Serikat era Trump. "Trump effect ini justru menyadarkan banyak negara bahwa penting untuk memperkuat pertahanan ekonomi. Ini seharusnya menjadi shock therapy bagi Indonesia untuk segera melakukan reformasi struktural dan memperkuat pasar dalam negeri," tegasnya.

Ia juga menyoroti buruknya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. "Ini ibarat kucing dan tikus. Kementerian Perindustrian merasa tidak didukung, padahal seharusnya regulasi perdagangan menopang pertumbuhan industri," katanya.