Trump Resmi Berlakukan Tarif 104% atas Barang Tiongkok, Picu Ketegangan Perdagangan Global
JAKARTA, GENVOICE.ID - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, resmi memberlakukan tarif total sebesar 104 persen terhadap barang-barang impor dari Tiongkok mulai Rabu, sebagai bagian dari kebijakan perdagangan yang agresif di tengah meningkatnya ketegangan global. Langkah ini menandai babak baru dalam perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia.
Tarif tersebut mencakup bea masuk tambahan sebesar 50 persen yang akan diterapkan jika Tiongkok melanjutkan rencana balas dendam atas tarif awal sebesar 34 persen, di luar tarif dasar 20 persenyang telah diberlakukan sebelumnya. Pemerintah Tiongkok merespons keras dengan menyatakan akan "bertarung sampai akhir", menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerah pada tekanan sepihak dari Washington.
Gedung Putih menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk melindungi kepentingan industri domestik AS. "Presiden Trump memiliki keberanian baja dan tidak akan mundur," kata sekretaris pers Karoline Leavitt. "Amerika tidak akan mundur di bawah kepemimpinannya."
Kebijakan ini memicu ketidakpastian di pasar global. Meskipun sempat mengalami pemulihan sementara, indeks saham utama seperti S&P 500 dan Nasdaq kembali mengalami penurunan signifikan. Wall Street ditutup turun, dengan S&P 500 jatuh 1,6 persen ke angka 4.982,77, sementara Nasdaq merosot 2,2 persen.
Tarif baru ini juga berdampak pada negara-negara lain. Uni Eropa dikenakan tarif sebesar 20 persen, India 26 persen, dan Kamboja 49 persen. Inggris pun terkena imbas, dengan tarif 10 persendiberlakukan atas ekspornya ke AS. Pemerintah Inggris, melalui Menteri Keuangan Rachel Reeves, menyatakan bahwa pihaknya tengah berupaya merundingkan kesepakatan dagang baru dengan Washington untuk menghindari dampak lanjutan.
Sementara itu, Trump mengklaim bahwa banyak negara kini tengah mengajukan proposal kerja sama baru dengan AS. Ia bahkan menyebutkan bahwa delegasi Korea Selatan telah dalam perjalanan menuju AS untuk membicarakan kemungkinan kesepakatan. "Kita juga sedang berbicara dengan banyak negara lain, semuanya ingin membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat," tulisnya di platform Truth Social.
Namun, kritik juga bermunculan. Beberapa tokoh bisnis besar seperti Elon Musk serta pengusaha konservatif Leonard Leo dan Charles Koch menentang kebijakan ini. Leo dan Koch bahkan menggugat kebijakan tarif tersebut yang mereka anggap "ilegal".
Di sisi lain, media resmi Tiongkok, Xinhua, menyebut pendekatan AS sebagai "pemerasan terang-terangan". Mereka menilai bahwa langkah Trump bukanlah diplomasi, melainkan bentuk paksaan yang dibungkus dalam kebijakan ekonomi.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan bahwa tarif telah mencapai tingkat maksimum, namun membuka ruang negosiasi. Ia optimistis bahwa negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS akan segera mengajukan proposal yang masuk akal.
"Jika mereka datang ke meja perundingan dengan proposal yang solid, saya pikir kita bisa mencapai kesepakatan yang baik," ujar Bessent.
Ketegangan antara AS dan Tiongkok, serta dampaknya terhadap ekonomi global, masih akan terus berkembang. Satu hal yang pasti, kebijakan tarif Trump kali ini telah menyalakan kembali bara perang dagang yang sempat mereda.