Teknologi AI Ciptakan Penangkal Bisa Ular yang Lebih Cepat, Murah, dan Efektif
JAKARTA, GENVOICE.ID - Setiap tahun, lebih dari 100.000 orang meninggal akibat gigitan ular berbisa, sementara 300.000 lainnya mengalami luka parah seperti amputasi, kelumpuhan, dan cacat permanen.
Dilansir dari NVIDIA Newsroom, korban umumnya adalah petani, peternak, dan anak-anak di daerah pedesaan di Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Amerika Latin. Bagi mereka, gigitan ular bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga bencana ekonomi.
Sayangnya, pengobatan untuk gigitan ular hampir tidak mengalami perkembangan selama lebih dari satu abad. Antivenom yang tersedia saat ini berasal dari darah hewan yang telah diimunisasi. Proses ini mahal, sulit diproduksi, dan sering kali tidak efektif melawan racun yang paling mematikan. Selain itu, antivenom membutuhkan penyimpanan di suhu dingin dan tenaga medis terlatih, yang membuatnya sulit diakses oleh mereka yang membutuhkannya.
Namun, kini ada harapan baru! Tim ilmuwan yang dipimpin oleh Susana Vázquez Torres dari University of Washington, bekerja di bawah bimbingan peraih Nobel David Baker, telah menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menciptakan protein sintetis yang mampu menetralkan bisa ular lebih cepat, lebih murah, dan lebih efektif dibandingkan antivenom tradisional.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature, tim ini berhasil menciptakan protein baru yang mampu melindungi hewan dari dosis mematikan racun ular. Dengan memanfaatkan AI dan perangkat canggih seperti NVIDIA Ampere serta GPU L40, mereka menggunakan model deep learning seperti RFdiffusion dan ProteinMPNN untuk menghasilkan jutaan struktur antitoksin potensial secara virtual.
Alih-alih menguji ribuan protein di laboratorium, AI membantu memprediksi bagaimana protein buatan ini akan berinteraksi dengan racun ular, mempercepat proses identifikasi kandidat terbaik.
Protein yang dirancang AI mampu mengikat erat tiga-finger toxins (3FTx), komponen paling mematikan dalam bisa ular elapid, sehingga menetralkan efek toksiknya, uji laboratorium juga menunjukkan bahwa protein ini stabil dan sangat efektif dalam menetralisir racun. Selain itu, dilakukan studi pada tikus yang telah membuktikan tingkat kelangsungan hidup 80-100% setelah terpapar neurotoksin mematikan.
Berbeda dengan antivenom tradisional yang bisa berharga ratusan dolar per dosis, protein yang didesain AI ini dapat diproduksi secara massal dengan biaya yang jauh lebih rendah, membuatnya lebih terjangkau bagi komunitas yang paling membutuhkan.
Banyak korban gigitan ular yang tidak mampu membeli antivenom atau menunda pengobatan karena kendala biaya dan akses. Dalam beberapa kasus, biaya pengobatan bisa membuat sebuah keluarga jatuh ke dalam kemiskinan yang lebih dalam. Dengan hadirnya penangkal bisa yang terjangkau dan mudah disimpan, jutaan nyawa dan mata pencaharian bisa terselamatkan.
Tak hanya untuk gigitan ular, pendekatan berbasis AI ini juga berpotensi digunakan untuk mengembangkan pengobatan bagi infeksi virus, penyakit autoimun, dan berbagai kondisi medis lainnya. Dengan menggantikan metode uji coba yang panjang dan mahal dengan presisi algoritmik, ilmuwan berharap AI dapat membawa revolusi dalam dunia medis.
Tim peneliti, yang juga melibatkan ilmuwan dari Technical University of Denmark, University of Northern Colorado, dan Liverpool School of Tropical Medicine, kini tengah bersiap untuk uji klinis dan produksi dalam skala besar. Jika berhasil, inovasi ini tidak hanya akan menyelamatkan nyawa tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia.