Sekarang Tes Darah Bisa Deteksi Gejala Awal Alzheimer: Studi Menunjukkan Akurasi Tinggi
JAKARTA, GENVOICE.ID - Penelitian terbaru mengungkap bahwa sebuah tes darah baru mampu mendeteksi tanda-tanda awal penyakit Alzheimer dengan tingkat keakuratan yang sangat tinggi.
Para peneliti dari Mayo Clinic, Amerika Serikat, memperkuat bukti bahwa pemeriksaan darah bisa menjadi metode andal dalam mendiagnosis demensia dengan menilai dua jenis protein penting dalam plasma darah.
Protein amyloid beta 42/40 dan p-tau217 dikenal sebagai indikator utama pembentukan plak amiloid, yang menjadi ciri khas penyakit Alzheimer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitivitas hingga 95%, artinya dapat mengenali hampir seluruh kasus dengan gangguan memori secara tepat, dengan sangat sedikit yang terlewat. Selain itu, tingkat spesifisitasnya mencapai 82%, yang berarti tes ini juga sangat efektif dalam mengidentifikasi orang yang tidak menderita demensia.
Penelitian dilakukan terhadap lebih dari 500 pasien yang datang ke klinik memori rawat jalan, sehingga data yang dihasilkan merefleksikan kondisi di lapangan secara nyata.
Tes darah ini sudah mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat.
Dr. Gregg Day, pemimpin penelitian yang dipublikasikan di jurnal Alzheimer's and Dementia, mengatakan bahwa keakuratan tes darah ini sejajar dengan metode diagnostik invasif yang lebih kompleks.
"Dalam lingkungan klinik rawat jalan, tes darah ini menunjukkan tingkat keakuratan yang setara dengan biomarker cairan serebrospinal, namun jauh lebih praktis dan ekonomis," ujarnya.
Selain itu, para peneliti menemukan kadar p-tau217 yang lebih tinggi pada pasien Alzheimer dibandingkan dengan individu yang tidak menderita penyakit tersebut.
Langkah selanjutnya yang direncanakan adalah menguji efektivitas tes darah ini pada kelompok pasien yang lebih beragam dan juga pada pasien dengan Alzheimer tahap awal tanpa gejala kognitif.
Dr. Richard Oakley, Direktur Riset dan Inovasi di Alzheimer's Society Inggris, menyatakan bahwa hasil ini menunjukkan potensi tes darah sebagai alat yang sangat akurat, yang dapat digunakan bersamaan dengan metode diagnosis lain serta pengamatan profesional kesehatan.
"Tes darah ini membuat proses diagnosis Alzheimer jadi lebih cepat, mudah, dan dapat diakses oleh lebih banyak orang dalam situasi dunia nyata," katanya.
Meski fokus penelitian ini adalah Alzheimer, tes tersebut juga diuji pada demensia jenis lain dan menunjukkan kemampuannya dalam membedakan penyebab penurunan kognitif, meski masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut di berbagai kelompok dan lingkungan masyarakat.
Di Inggris, proses diagnosis demensia selama ini sering kali lambat, mahal, dan bersifat invasif, sehingga banyak pasien kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat diagnosis dini.
Kabar baiknya, tes darah serupa sudah digunakan secara klinis di AS dan para peneliti berharap NHS di Inggris segera mengikuti jejak tersebut lewat program riset Blood Biomarker Challenge, yang bertujuan menghadirkan tes darah untuk diagnosis demensia secara luas di tahun 2029.
Oakley menegaskan, "Tes darah akan mempercepat diagnosis dan memberikan akses lebih cepat bagi pasien untuk mendapatkan perawatan dan dukungan yang sangat dibutuhkan."
"Investasi jangka panjang pada teknologi dan tenaga kerja sangat penting agar semua pasien demensia mendapat diagnosis tepat waktu, terutama di era pengobatan yang mulai mampu mengubah perjalanan penyakit."
Dr. Julia Dudley, kepala riset Alzheimer's Research UK, menambahkan bahwa sangat penting untuk terus mengembangkan metode diagnosis yang lebih baik dan tes darah ini merupakan langkah maju yang menjanjikan.
Studi ini menegaskan bahwa tes darah yang mengukur p-tau217 dan amyloid beta 42/40 mampu memberikan diagnosis Alzheimer dengan akurasi tinggi, bahkan pada pasien dengan gangguan memori tahap awal.
Namun, para peneliti juga menekankan perlunya pengujian lebih luas untuk memastikan tes ini efektif bagi semua kelompok pasien dengan latar belakang dan kondisi yang beragam.
Dengan dukungan dari berbagai lembaga, riset seperti Blood Biomarker Challenge sedang menguji ribuan orang di Inggris untuk mempercepat akses diagnosis yang lebih mudah dan cepat - sebuah langkah penting menuju penemuan obat penyembuh Alzheimer.