Penggunaan SAL Rp85,6 Triliun untuk Nambal APBN Harus Didasari Prinsip Kehati-hatian

Genvoice.id | 04 Jul 2025

JAKARTA- Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan penggunaan Sisa Anggaran Lebih (SAL) untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 masih dalam koridor wajar namun tetap harus mematuhi prinsip kehati-hatian dan transparansi.

"Tidak kalah penting adalah perlunya disiplin anggaran, terutama dalam memastikan belanja yang dibiayai SAL benar-benar bersifat prioritas dan produktif," katanya, Kamis (3/7), menanggapi peretujuan DPR RI menggunakan SAL guna menutup defisit APBN 2025.

Ia juga menekankan agar penggunaan SAL jangan menjadi kebiasaan untuk menutup pelebaran defisit secara jangka pendek. Tetap perlu ada evaluasi struktural terhadap penerimaan negara dan efektivitas belanja.

Menurut dia, defisit yang melebar harus dibaca sebagai sinyal perlunya perbaikan fundamental dalam perencanaan fiskal jangka menengah. "Keseimbangan primer dan kualitas belanja negara tetap harus menjadi fokus utama, agar penggunaan SAL tidak menunda masalah fiskal yang lebih besar di kemudian hari."

Terpisah, pengamat Kebijakan Publik Fitra, Badiul Hadi mengatakan penting mencermati secara kritis arah penggunaan SAL tersebut.

"Kita harus bertanya lebih dalam lagi, apakah belanja prioritas pemerintah benar benar menyasar sektor yang mampu memberi efek pengganda (multiplier effect) terhadap pemulihan ekonomi rakyat, atau justru hanya menjadi pengulangan program-program rutin yang belum terukur efektivitasnya," katanya.

Ia mengatakan keterbukaan dan akuntabilitas penggunaan SAL harus menjadi perhatian utama. "SAL bukan dana tak bertuan, karena merupakan hasil dari efisiensi, penghematan, dan bahkan kadang kegagalan merealisasikan program program tahun sebelumnya. Penggunaannya harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan transparansi," tegasnya.

Menurut dia, pelebaran defisit APBN 2025 (sebesar 197 triliun rupiah pada smester 1 2025) juga perlu dijelaskan kepada publik secara lebih menyeluruh.

"Jika defisit melebar karena peningkatan belanja yang produktif, misalnya untuk adaptasi perubahan iklim, infrastruktur desa, pangan, atau pendidikan, maka harus ada indikator kinerja yang tegas agar tidak menjadi beban fiskal jangka panjang tanpa hasil nyata," tegas Badiul.

Ia menambahkan, keputusan penggunaan SAL sebesar 85,6 triliun rupiah harus dilihat bukan sekadar sebagai langkah penyelamatan fiskal jangka pendek, melainkan sebagai ujian atas komitmen Pemerintah dan DPR dalam memastikan bahwa setiap rupiah uang rakyat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terutama kelompok rentan dan daerah tertinggal.

Belanja Prioritas

Dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI, Kamis (3/7), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menggunakan SAL Rp85,6 triliun untuk menutupi defisit APBN 2025 yang lebih besar.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah memaparkan pemanfaatan SAL Rp85,6 triliun itu akan digunakan untuk mengurangi jumlah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), memenuhi kewajiban pemerintah atau belanja prioritas, dan pembiayaan defisit.

Sesuai rapat kerja, Menkeu mengaku akan memantau perkembangan belanja dan pendapatan negara untuk menentukan alokasi penggunaan SAL.

Dalam kesempatan itu, Pemerintah dan DPR juga menyepakati proyeksi baru asumsi dasar ekonomi makro 2025 untuk menjaga keseimbangan makro Indonesia yang berkelanjutan dan memberikan ruang fiskal yang kredibel dan adaptif.

Terkait asumsi makro, prospek perekonomian Indonesia bergerak dalam lanskap global yang sarat ketidakpastian, utamanya akibat eskalasi ketegangan perdagangan dunia maupun konflik geopolitik, gejolak pasar keuangan, serta disrupsi rantai pasok dan arus modal internasional.

Dengan mempertimbangkan interaksi faktor global dan domestik, pemerintah dan DPR menyepakati prognosis asumsi dasar makro 2025 dengan rincian sebagai berikut.

Pertumbuhan ekonomi pada semester II serta outlook pada akhir tahun ditargetkan berada pada rentang 4,7 persen sampai 5 persen.

Sedangkan, inflasi diproyeksikan pada rentang 2,2-2,6 persen, tingkat bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun ditargetkan pada rentang 6,8-7,3 persen, nilai tukar rupiah diproyeksikan 16.300-16.800 per dollar AS dan harga minyak mentah Indonesia ditargetkan sebesar 66-94 dollar AS per barel pada semester II dan 68-82 dolar AS per barel pada akhir tahun.

Sedangkan, lifting minyak bumi diprediksi sebesar 593-597 ribu barel per hari dan

lifting gas bumi ditargetkan sebesar 976-980 ribu barel per hari.

Menanggapi kesepakatan Pemerintah dan DPR itu, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet mengatakan, penggunaan SAL sebagai instrumen pembiayaan defisit memang memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan penerbitan utang baru, khususnya Surat Berharga Negara (SBN), sehingga bisa menekan beban bunga dan risiko fiskal di masa depan.

Namun demikian, perlu dicermati bahwa SAL merupakan dana cadangan yang sifatnya terbatas dan tidak dapat dijadikan solusi berulang untuk menutupi pelebaran defisit struktural.

"Penggunaan dana ini sebaiknya disertai dengan strategi jangka menengah yang komprehensif, termasuk penguatan sisi penerimaan negara serta efisiensi belanja agar defisit tidak terus bergantung pada sumber-sumber pembiayaan non-rutin,"tegasnya.

Dia juga menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam alokasi SAL, terutama jika digunakan untuk belanja prioritas dan kewajiban pemerintah. "Harus ada kejelasan dalam indikator keberhasilan dan dampak fiskal dari penggunaan dana ini agar dapat benar-benar memberikan manfaat ekonomi yang optimal. Dengan demikian, kebijakan ini dapat berfungsi sebagai instrumen stabilisasi fiskal yang efektif, bukan sekadar respons jangka pendek terhadap tekanan anggaran," katanya.