Longsor Renggut Ribuan Nyawa Diam-Diam! Sistem Peringatan Dini Nasional Masih Jadi Wacana?

Genvoice.id | 04 Jun 2025

JAKARTA, GENVOICE.ID - Tiap kali musim hujan datang, jutaan warga Indonesia, terutama yang tinggal di lereng perbukitan, kaki gunung, dan bantaran sungai, dipaksa hidup dalam bayang-bayang bencana mematikan: tanah longsor.

Hujan deras yang mengguyur malam hari tak hanya membasahi atap dan jalan, tapi juga memunculkan kekhawatiran akan suara gemuruh dari atas bukit, pertanda bencana bisa datang kapan saja. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.

Dilansir dari Antara, Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, tanah longsor adalah bencana paling mematikan di Indonesia, menelan hampir 1.500 korban jiwa sejak 2020. Ironisnya, sebagian besar korban tewas tanpa sempat menerima peringatan dini.

Pada 2021 tercatat 178 korban jiwa dari 1.321 kejadian longsor. Situasi makin buruk pada 2024, dengan 235 orang meninggal akibat bencana ini. Artinya, longsor kini terjadi hampir setiap hari, dan bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang sebelumnya dianggap aman.

Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kejadian longsor tertinggi: 1.515 kasus dalam lima tahun terakhir. Kabupaten Bogor menempati urutan pertama (401 kejadian), disusul Sukabumi (189), Kota Bogor (145), Ciamis (104), dan Sumedang (102). Lonjakan kejadian ini terkait erat dengan pesatnya alih fungsi lahan dan pembangunan permukiman tanpa kajian risiko yang memadai.

Di tengah ancaman ini, BNPB menggalakkan pengembangan sistem peringatan dini longsor nasional, yang diharapkan mampu mendeteksi potensi bencana jauh sebelum tanah bergeser.

Sistem ini mengintegrasikan tiga pendekatan utama:

  • Pemantauan citra satelit untuk mendeteksi perubahan lereng dan tutupan lahan,

  • Pemasangan sensor di lapangan untuk mengukur curah hujan dan pergerakan tanah,

  • Pelibatan aktif komunitas lokal sebagai garda terdepan dalam deteksi dan respons.

Sayangnya, sistem ini masih dalam tahap pengembangan. Padahal, sistem berbasis komunitas seperti LEWS (Landslide Early Warning System) yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada dan BNPB telah diakui secara internasional lewat sertifikasi ISO 22327. Namun, implementasinya baru mencakup 150 desa-terlalu sedikit dibandingkan lebih dari 40 juta warga yang tinggal di wilayah rawan.

Bencana longsor tidak hanya mengintai kawasan permukiman, tapi juga lokasi tambang, baik legal maupun ilegal. Kasus terbaru terjadi di Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat, menewaskan 21 orang dan menyebabkan 4 lainnya hilang. Para pekerja tertimbun material pasir, bebatuan, dan ekskavator di tengah cuaca ekstrem dan lereng yang labil.

Sebelumnya, tragedi serupa juga terjadi di Muara Enim (2020, 11 korban jiwa) dan Bone Bolango (2024, 27 korban tewas dan 15 hilang). Tragedi demi tragedi ini membuktikan bahwa longsor bukan hanya soal alam, tapi juga minimnya pengawasan terhadap eksploitasi sumber daya.

Kepala Pusat Data BNPB, Abdul Muhari, menekankan bahwa strategi mitigasi longsor tidak bisa hanya reaktif.

"Kita harus hidup berdampingan dengan risiko, tapi dengan kesiapan dan alat bantu yang memadai," katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Muhammad Wafid, menyebut bahwa anomalI iklim dan pola hujan ekstrem akibat pemanasan global telah membuat peta risiko longsor berubah drastis. Bahkan kawasan yang sebelumnya aman kini ikut terancam.

Ia mengingatkan bahwa aktivitas tambang terbuka, alih fungsi hutan menjadi pemukiman dan pertanian tanpa kajian akademis yang kuat menjadi pemicu longsor baru.

Wafid juga menekankan perlunya pembaruan peta risiko dan penegakan aturan tata ruang oleh pemerintah daerah.

"Peringatan dini tidak akan berguna jika pembangunan tetap dipaksakan di zona merah."

LEWS sebagai sistem komunitas telah menunjukkan keberhasilan dalam menyelamatkan warga lewat tujuh subsistem: mulai dari penilaian risiko, pembentukan tim siaga, hingga simulasi evakuasi. Pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai ujung tombak, bukan hanya sebagai korban yang pasrah.

Indonesia sebagai negara berisiko geologis tinggi tak bisa terus mengandalkan prakiraan cuaca biasa. Diperlukan sistem peringatan yang spesifik, presisi, dan merakyat, karena setiap menit sebelum tanah runtuh bisa menjadi kesempatan terakhir menyelamatkan satu nyawa.