Pasrah Menunggu, Indonesia Belum Punya Kesepakatan Tarif dengan AS

Genvoice.id | 03 Jul 2025

WASHINGTON- Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Budi Santoso mengungkapkan hingga kini belum ada kesepakatan dengan AS terkait negosiasi tarif resiprokal sebesar 32 persen. "Kita masih tunggu Amerika, belum deal. Jadi nunggu waktu, negara lain juga belum deal semua," kata Budi di Jakarta, Rabu (2/7).

Di tengah ketidakpastian terkait kesepakatan, Budi berharap negosiasi dengan AS bisa berjalan mulus walaupun sudah mendekati batas akhir yakni pada 8 Juli 2025.

Senada dengan Budi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah sedang menunggu tanggapan (feedback) ????berkaitan dengan proses negosiasi tarif resiprokal dengan AS.

"Indonesia sudah memberikan second offer seperti yang sudah saya sampaikan. Penawaran kedua itu sudah diterima oleh USTR (United States Trade Representative) dan sudah di-review. Indonesia tinggal nunggu feedback, apakah masih ada feedback tambahan berkait dengan proses negosiasi yang ada," kata Airlangga.

Menurut Airlangga, bahwa permintaan yang diajukan pemerintah AS, baik berupa tarif maupun hambatan dagang, telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. "Kami juga sudah berkomunikasi langsung dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent yang pada prinsipnya mengapresiasi sejumlah tawaran dari Indonesia," kata Airlangga.

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Selasa (1/7), mengumumkan bahwa ia tidak berencana memperpanjang penangguhan tarif perdagangan timbal balik yang akan berakhir pada 9 Juli.

"Tidak, saya tidak berpikir untuk memperpanjang (penangguhan tarif)," kata Trump kepada wartawan saat berada di dalam pesawat Air Force 1.

Trump menyebutkan pemerintahannya akan segera mengirim selembar surat kepada para mitra dagang AS, yang berisi ucapan selamat kepada mereka atas haknya untuk menjalin bisnis dengan AS.

Penerapan kebijakan tarif, kata Trump, telah menghasilkan pendapatan sekitar 129 miliar dollar AS (sekitar 2 kuadriliun rupiah) bagi AS dan jumlah itu diharapkan masih terus bertambah.

Tidak Seimbang

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata yang diminta tanggapannya menilai posisi Indonesia dalam negosiasi masih lemah karena porsi ekspor Indonesia ke AS tergolong kecil dibandingkan porsi impor dari AS.

"Amerika adalah mitra dagang terpenting kedua setelah Tiongkok, namun dari sisi neraca, hubungan ini sangat tidak seimbang," kata Aloysius.

Menurut Aloysius, Indonesia mencoba menarik perhatian Washington dengan menjanjikan akan mengalihkan impor dari negara lain ke AS. Strategi ini, katanya, memang menjadi taktik diplomasi dagang, namun keberhasilannya belum bisa dipastikan.

"Tergantung apakah AS memandang pelunakan tarif untuk Indonesia sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi mereka," jelasnya.

Jika negara-negara lain menempuh strategi 'mengalah' serupa dan berhasil, maka bukan tidak mungkin terjadi realokasi besar dalam peta perdagangan global. Namun Aloysius mengingatkan bahwa langkah ini bisa menimbulkan risiko lanjutan, khususnya jika negara mitra lain mulai mempersoalkan kebijakan Indonesia yang dianggap proteksionis.

Untuk menghadapi tantangan global itu, Aloysius menekankan pentingnya pembenahan sektor domestik. "Inefisiensi di dalam negeri harus dibereskan terlebih dahulu. Kemudahan berusaha dan biaya produksi yang tinggi masih menjadi hambatan serius," tegasnya.

Ia juga menggarisbawahi perlunya strategi diversifikasi kemitraan perdagangan. Indonesia, kata dia, perlu secara serius memanfaatkan peluang dari negara-negara di luar mitra utama seperti AS dan Tiongkok, tanpa mengabaikan pentingnya memperkuat integrasi ekonomi kawasan Asia, terutama ASEAN.

"Integrasi ini penting agar Indonesia memiliki daya tawar lebih kuat di panggung global," katanya.

Senada dengan itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto mengatakan perlu meningkatkan diversifikasi ekspor untuk menghadapi kenaikan tarif AS terhadap produk-produk Indonesia.

"Mungkin banyak negara-negara yang kaget dan kurang siap seperti kita, karena memang tidak akan ada yang benar-benar siap dengan tarif ini. Dengan segala keterbatasan yang ada sejauh ini opsi yang bisa diambil diversifikasi pasar ekspor, dan negosiasi dengan AS.

Diversifikasi sangat perlu untuk mengurangi ketergantungan ke pasar AS supaya mengurangi dampak penurunan ekspor.